Advertisement

Membangun kaligrafi Islam

Pertengahan November tahun lalu, Komisi Beasiswa Aceh sempat berkunjung ke sekolah kaligrafi internasional Turki di Mesir. Sekolah atau halaqah khairiyah ini merupakan cabang dari Research Center For Islamic History, Art and Culture (IRCICA) yang berpusat di City Qasr, Istanbul Turki. Kunjungan Komisi Beasiswa Aceh setidaknya menjadi harapan besar bagi pecinta kaligrafi Islam di nanggroe, di mana kesuburan pohon bernama kaligrafi Islam selalu dinanti penuh harap. Namun sayang sekali, hingga kini belum ada suatu tanda bahwa pohon tersebut akan subur. Karena itu, penulis berusaha untuk menggugah kembali keseriusan berbagai pihak akan pentingnya menyuburkan pohon kaligrafi Islam (Islamic caligraphi) dimaksud.




Merujuk pada wikipedia, istilah kaligrafi berasal dari bahasa Yunani, kalligraphia. Kilos berarti indah atau cantik dan graphein artinya coretan atau tulisan. Penggabungan dua suku kata ini dapat diartikan sebagai seni tulis indah. (Eliade 1987). Takhsis kaligrafi Islam sendiri adalah seni kaligrafi yang menggunakan huruf Arab dengan mengutamakan keelokannya (Safadi, 1986). Sehingga dengan segala keelokannya, seni kaligrafi Islam telah mendapat tempat khusus dalam sejarah peradaban Islam , terutama karena kejuhudan penulisan Al Quran pada masa sahabat sampai berlanjut pada generasi setelahnya. Semangat mereka (alkhattat) dalam mengarungi seni kaligrafi Islam selalu berlandaskan pada ayat Allah, innallaha jamil wa yuhibbul jamal.



Dalam literatur sejarah, kaligrafi Islam mencapai puncak mulia pada masa pemerintahan daulah Bani Ummayah dan Abbasiyah, sebelum akhirnya berpindah kiblat manakala Turki Ustmani memegang tampuk kuasa. Perubahan kiblat tersebut sangat berpengaruh bagi lahirnya ratusan penulis kaligrafi (alkhatat) dari lumbung Turki sendiri. Sehingga ada pameo menyebutkan akan ketidak-absahan seorang penulis kaligrafi (alkhattat) berapresiasi kalau tak menginjak tanah Turki. Pameo itu bukan tanpa alasan, karena Turki modern berhasil mempertahankan kejayaan kaligrafi Islam hingga sekarang.



Kaligrafi Islam di Aceh

Kaligrafi Islam (Islamic caligraphi) hidup subur di Aceh mulai abad 13 sampai 18 M. Kaligrafi Islam kala itu menjadi aset berharga kerajaan, dan peran penting kaligrafi Islam ikut memperkaya khazanah peradaban Islam di Aceh. Perkembangan sejarah kaligrafi Islam di Aceh sebagaimana disebut Herwandi (2002) dibagi berdasarkan perkembangan eksternal dan internal.



Hubungan Aceh dengan negeri India, Persia dan Turki cenderung mempengaruhi perkembangan eksternal. Selanjutnya perkembangan internal dibagi menjadi tiga periode. Pada periode pertama, kerajaan Aceh Darussalam masih merupakan cikal bakal dan mulai tumbuh menjadi kerajaan merdeka. Periode kedua berlangsung manakala kerajaan Aceh merebut kegemilangan semenjak akhir pemerintahan sultan Hussein Ali Riayat Syah dan berakhir pada pemerintahan sultan Iskandar Tsani. Sementara periode ketiga dimulai semenjak pemerintahan ratu Safiatuddin sampai akhir abad ke 18 M.



Menarik dicermati, bahwa perkembangan kaligrafi Islam di Aceh khususnya pada periode kedua lebih banyak dilatari oleh dinamika sosial dan pergumulan ide keagamaan, seperti lahirnya pemikiran tasawuf wahdatul wujud dan wahdatul syuhud sepanjang abad 16 sampai 17 M. Maka tokoh-tokoh seperti as-Sumatrani dan ar-Raniry bisa disebut sebagai promotor dari perkembangan seni kaligrafi Islam masa itu.



Ironis sekali, pada masa-masa selanjutnya perkembangan kaligrafi Islam di Aceh terus mengalami masa mundur dengan berbagai faktor. Pengalaman penulis pada sebuah kampung di Pidie menunjukkan kegelisahan dan kekhawatiran masyarakat akan kondisi suram para penulis kaligrafi (alkhattat). Kegelisahan mereka sangatlah wajar manakala para penulis kaligrafi (alkhattat) mulai menipis dan menua. Bayangkan saja setelah mereka tiada, dikhawatirkan dunia kaligrafi Islam di Aceh semakin meredup.



Untuk itu diperlukan upaya merangsang serta membangun kembali minat belajar kaligrafi Islam. Upaya merangsang bertujuan membentuk sumber daya manusia Aceh yang cinta kaligrafi, sedang upaya membangun diperlukan kebijakan rill membangun fasilitas yang memadai, seperti pembangunan sekolah khusus kaligrafi Islam, pengadaan guru berkualitas, serta pengiriman anak Aceh untuk belajar kaligrafi ke negara-negara berkompeten semisal Turki.



Sehingga kejuhudan mewarisi kaligrafi Islam di Aceh akan lahir kembali di tengah semangat penerapan syariat Islam. Hal ini sangat sesuai dengan fungsi dasar seni kaligrafi Islam sebagai media ibadah dan media dakwah. Menjadi media ibadah apabila proses penulisan ayat-ayat Allah dimaksudkan sebagai bentuk zikirullah, mengatakannya sebagai media dakwah apabila penulisan kaligrafi Islam mengajak manusia untuk berbuat baik (amar ma’ruf). Akhirnya kembali lagi kepada semua pihak, ingin menyuburkan pohon kaligrafi Islam atau menumbangkannya begitu saja. Pilih mana?[]

Posting Komentar

0 Komentar