Terminologi apam merujuk kepada makanan (peunajoh) tradisional Aceh, dan apam sebagai nama bulan (buluen apam). Apam diolah melalui sebuah proses top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Beberapa referensi menulis bahwa tepung breuh biet selanjutnya dicampur santan kelapa dalam sebuah periuk besar.
Campuran ini direndam paling kurang tiga jam. Adonan
ini diaduk kembali sehingga menjadi
cair. Kemudian cairan tepung diambil dengan aweuk untuk dituangkan ke
wadah, yakni neuleuek berupa pinggan tanah.
Kualiatas apam semakin bagus ketika permukaannya
berlubang-lubang, sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata. Adanya kuah
apam (kuah tuhe) menambah kenikmatan memakan apam, kuah apam tersebut
dicampur pisang klat barat atau nangka serta gula.
Dari sejarah tutur, penulis mendapati bahwa tradisi toet
apam berawal dari seorang sufi miskin asal Mekkah, konon namanya Abdullah
Rajab. Ketika ia meningggal tak ada satupun biji kurma yang dapat disedekahkan sebagai kenduri selamatan. Orang kampung iba,
akhirnya mereka memasak apam sebagai khanduri.
Selanjutnya tradisi toet apam tersebut terus
menjalar dan bertahan di Aceh. Terlepas
dari valid atau tidaknya sejarah tersebut, agaknya perlu sebuah pengkajian
mendalam lagi tentang asal mula tradisi toet apam.
Bagi Aceh sendiri, apam telah menjadi perekat
silaturrahmi antara masyarakat lewat ritual
khanduri. Masyarakat Aceh turut meyakini betapa tinggi nilai-nilai yang
terkandung dalam apam.
Lewat
peunajoh apam, eksistensi luhur
Aceh selalu coba dibaca baik oleh orang Aceh maupun luar Aceh. Tegasnya apam
telah memperkenalkan Aceh lewat format
makanan (peunajoh).
Filosofi
apam juga sangat menarik untuk dicermati kembali, penulis melihat bahwa makanan tradisonal ini menjadi pengingat bagi
kita tentang nilai-nilai kesederhanaan dan keakraban. Kesederhanaan tampak dari
bahan-bahan apam itu sendiri, sedangkan keakraban ditandai dengan mudahnya
menemukan bahan-bahan untuk membuat apam.
Dalam
berbagai literatur ternyata istilah apam juga dipakai oleh negara Malaysia, negeri Minang dan juga Riau. Ini menandakan
betapa pertautan sejarah antara bangsa-bangsa semanajung Melayu dahulu kala telah
terjalin lewat peunajoh.
Seiring
dengan perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi, apam semakin tak populer
lagi dikalangan generasi Aceh postmodern. Peunajoh apam hanya dipandang
sebagai makanan sampingan. Ini tampak dari hasil penelusuran penulis lewat
dunia maya, bahwa popularitas kata apam berbanding jauh dengan makanan-makanan
tradisional Aceh lainnya.
Pembendaharaan
kata apam sebagai peunajoh Aceh
sangat sedikit sekali kita temukan, kecuali apam sebagai peunajoh di
Negara Malaysia, ataupun di Riau dan Minang. Bahkan istilah apam sendiri telah
berkembang menjadi pameo negatif dalam bahasa Aceh. Ini sangat riskan mengingat
posisi apam sebagai penguat budaya Aceh sejak dahulu.
Penulis
melihat bahwa ritual kenduri apam juga masih sangat kaku, dimana tradisi toet
apam hanya dimaknai pada bulan apam dan hari kematian saja. Selebihnya apam
tenggelam dalam kesombongan makanan-makanan modern.
Karena
itu, mengubah image apam sebagai makanan yang dinamis sangat diperlukan.
peunajoh apam harus ada dalam berbagai acara-acara formal pemerintah, ataupun
di rumah-rumah masyarakat Aceh. Artinya pada posisi ini, peunajoh apam
telah bergerak lebih maju tanpa mengurangi kualitas adat dan reusam Aceh
sendiri. bahkan sebaliknya turut memperkuat adat dan reusam Aceh dalam hal
mempertahankan peunajoh tradisional. Langkah ini juga menuntut peran
dan dukungan besar dari generasi
perempuan Aceh secara serius.
Akhirnya
membaca Aceh lewat peunajoh apam akan menjadi satu hal penting. kuatnya
eksistensi apam menandakan bahwa peunajoh tradisional Aceh masih ada
dalam kultur masyarakat. Apam memperlihatkan sebuah kesederhanaan peunajoh
sebagaimana kesederhanaan Aceh itu sendiri. Lebih dari itu peunajoh apam
akan menjadi tolak ukur bagaimana Aceh mencintai dirinya sendiri.
0 Komentar