Advertisement

Membabat Valentine Day

Alkisah pada kurun ketiga Masehi,  sebuah festival yang diberi nama Lupercalia mulai bergemuruh di kerajaan Romawi. Festival ini dirayakan dalam rangka memberi persembahan  kepada dewi cinta Juno Februata. Para perempuannya dijadikan sebagai korban kebiadaban nafsu  angkara.
 
Ketika meletus perang Romawi, kaisar Romawi saat itu, Clodius II merasa kesulitan merekrut  tenaga perang. Pengaruh Lupercalia serta merta telah merasuki rakyat Romawi, mereka larut memuja nafsu syaithani. Sang kaisar berusaha mengusik tradisi ini dengan membatalkan ritual Lupercalia. Valentine, seorang pastor saat itu menentang keras kebijakan kaisar.  Hal ini membuat hati kaisar murka, lalu ia memenggal kepala sang pastor.
Ketokohan  Valentine akhirnya melagenda. Valentine dianggap sebagai pembela rakyat dan Lupercalia. Untuk mengingat jasa sang pastor, maka diperingatilah hari Valentine  di setiap tanggal 14 Februari, bertepatan dengan hari eksekusi sang pastor. Di kemudian hari, Valentine Day yang mereka simbolkan sebagai hari kasih sayang terus dipelihara  dengan segenap euforia. 
Generasi muda yang tengah gersang dengan nilai-nilai ruhiyah terpengaruh begitu saja dan ikut melestarikan adat jahiliyah ini. Filterisasi dan alat-alatnya tak punya daya menahan sengatan Valentine Day.
Ritual Salah Kaprah
Memperingati hari Valentine Day berarti turut melestarikan budaya jahiliyah. Para pengusungnya masih belum mampu memahami esensi dari hari-hari yang  tuhan ciptakan sebagai nikmat dan anugerah. Karena pada hakikatnya setiap dimensi hidup kita selalu dipenuhi dengan kasih sayang tuhan. Dialah sang maha pengasih (ar-Rahman) sang maha penyayang (ar-Rahim) yang menurunkan kasih dan sayangnya kepada manusia. 
Valentine Day jelas-jelas menempatkan wanita ditempat yang tak terhormat. Para aktivis gender yang selama ini giat meneriakkan isu tentang hak asasi manusia sangat berkewajiban untuk memusnahkan budaya yang telah mengerogoti tubuh Indonesia ini.
Di Indonesia sendiri, Valentine Day terus menari-nari, menggoda para generasi pembangun bangsa. Di ibukota apalagi, teriakan ormas Islam tak cukup membuat mereka tersentak bahwa tradisi Valentine Day menyimpang dari ajaran Islam dan budaya Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia sebagai representatif organisasi ulama seyogyanya membuat kebijakan melarang Valentine Day. Pihak pemerintah melalui departemen agama perlu menyiapkan satu keputusan hukum menyangkut  Valentine Day. Ritual ini bukan saja menyimpang dari ajaran Islam, namun memberangus budaya Indonesia. 
Memperingati Valentine Day berarti kita mundur jauh ke beberapa abad. Para ulama mengibaratkan dunia dengan belakang dan akhirat adalah depan. Lantas apa faidahnya kita mengejar sesuatu yang jauh ke belakang yang penuh nilai-nilai jahiliyah. 
Islam sebagai agama sempurna (syumul) telah datang dengan konsep yang jelas tentang hubungan suci antara lelaki dan perempuan melalui pernikahan. Ikatan suci tersebut merupakan amal ibadah dalam rangka menyempurnakan setengah agama. Islam adalah agama romansa yang mengatur dengan sangat apik hubungan suami-istri. Literatur fiqih dalam bab munakahatnya telah mengupas banyak bagaimana muamalah yang sehat antara  suami-istri.
Selayaknya masa-masa muda dimanfaatkan pada kesibukan menuntut ilmu, sebagaimana jalan yang ditempuh para ulama shalafush shalih. Para ulama pada masa mudanya dipenuhi cinta yang membara pada ilmu. Tak heran jika ada ulama yang telah  sampai pada  tahap kenikmatan beilmu yang luar biasa sehingga lupa untuk menikah.
Ibarat sebuah tanaman, maka Valentine Day adalah tanaman berduri yang sangat membahayakan. Ia akan terus menjalar, korbannya adalah pada generasi-generasi hijau yang tak menahu apa. Lebih dari itu, Valentine Day adalah tanaman penuh racun yang membawa penyakit bagi tanaman-tanaman lain.
Membabatnya adalah dengan agama. Para orang tua harus turun tangan mengawal anak-anaknya. Yakni mengajarkan mereka dasar-dasar agama, sehingga tahu membedakan mana yang halal dan haram. Serta mengantar mereka ke lembaga-lembaga pendidikan agama agar terselamat dari pengaruh tradisi jahiliyah ini. 
Aceh sebagai satu-satunya wilayah yang punya wewenang menerapkan syari’at Islam sangat naïf jika ikut terjangkiti virus Valantine Day. Generasi muda Aceh perlu kita selamatkan semenjak dini. Aceh mau tidak mau harus menyiapkan generasi yang alim rabbani dan generasi penghafal Al-quran yang mengerti hukum-hukum Islam. Bukan generasi Valentinisme yang jauh dari ruh agama . Lebih dari itu Aceh harus berdiri di garda depan membabat Valentine Day di Indonesia.
Menguak kembali kisah Lupercalia dan Valentine sama saja dengan menelanjangi sejarah Kristen Eropa. Maka kita akan menemukan bentuk kebodohan mereka yang berlipat ganda. Jika Valentine Day yang mewarisi semangat lupercalia berhasil menginjak Nusantara, maka ini merupakan musibah besar, dan sebaliknya menjadi kemenangan bagi kaum salibis. Luka perang salib belum sembuh benar, Lupercalia akan terus bereforia mengusik generasi muda. Babat Lupercalia, babat Valentine Day sebelum menyara di tanah pusaka.


Posting Komentar

0 Komentar