Keputusan muallaf
untuk menjadikan Islam sebagai tujuan hidup bukanlah terjadi secara kebetulan,
tetapi telah melalui proses pikir yang mendalam. Proses masuknya Islam seseorang juga
terkadang membutuhkan waktu yang lama, seseorang bahkan telah sampai pada tahap
mengkaji agama-agama lain yang akhirnya sampai kepada ad-Din al-Islamiyyah.
Literatur
fiqih Islam banyak mengupas tentang hal-ihwal para muallaf, misalnya dalam hal
zakat, munakahat hatta kepada pembagian warisan. Fiqih memposisikan
muallaf sebagai mustahiq zakat (Alquran; At-Taubah 60). Ada banyak
hikmah mengapa para mualaf ini menjadi mustahiq, sebagaimana disebut Dr Yusuf
Qardhawi dalam kitab Fiqh al-Zakat, diantaranya untuk menolong dan
menguatkan hati mereka yang telah sah menjadi saudara seagama. Dalam munakahat,
istri dan suami yang masuk Islam tak perlu lagi memperbaharui nikahnya. Ilmu
mawarist juga telah mengatur dengan baik dan bijak bagaimana pembagian harta
warisan jika terkait dengan nasab para muallaf.
Literatur
Sejarah juga telah berbicara banyak mengenai kehebatan para muallaf dalam
meningkatkan kualitas dirinya beragama. Hal ini diwujudkan dengan
kelahiran maha karya yang layak
diapresiasi berupa sastra; novel, biografi hidup, jurnal-jurnal ilmiyah tentang
bukti kesempurnaan Islam bahkan banyak karya-karya lain bergenre agama yang
menambah khasanah keilmuwan Islam itu sendiri.
Dr Yahya Hasyim dalam
kitab Difa’ at-Tarikh islami turut mengupas bagaimana proses masuknya Islam ke benua Eropa
seperti ke Perancis, Hasyim menulis tentang tanggung jawab Bani Umayah dalam
hal memperkuat aqidah dan mengembangkan keilmuwan Islam. Masuknya Islam ke Perancis bagian selatan
telah dimulai semenjak masa Bani Umayah abad ke dua Hijriah yang dipimpin oleh
Samhu bin Malik al-Khulani.
Merangkul Muallaf
Kaum muslimin
mengemban amanah untuk mendidik para muallaf dalam berislam. Muallaf harus
dijaga dan dibina dengan mengisi pemikirannya dengan akidah Islam yang lurus disamping mengajari mereka
bagaimana membina hubungan antara tuhan (al-Hablu min Allah) dan sesama (al-Hablu
min an-Nas). Islam bagi para mullaf harus mampu dibaca sebagai agama kasih
sayang yang membuat suburnya nilai-nilai keimanan dan optimisme.
Seorang alumni Al-
Azhar, warga negara Perancis yang dulunya adalah muallaf, namanya Syekh Yahya
Nabil, beliau banyak berperan dalam membantu para muallaf untuk bisa mengenal
agamanya dengan baik. Diantara peran beliau terekam dalam sebuah lembaga badan
waqaf amal Indonesia Kairo, Syekh Yahya Nabil menjadi
donatur dalam lembaga ini. Banyak tulisan-tulisan dari Badan Waqaf Amal yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris untuk kemudian dikirim kepada para muallaf di negara-negara Eropa. Sepengatahuan
penulis Badan Waqaf Amal ini juga membuat bimbingan belajar agama bagi
orang-orang Eropa di Cairo.
Kita sangat mengapresiasi
langkah-langkah kontruktif seperti ini. Apa yang kita ketahui bahwa jumlah kaum
muslim di Eropa selalu meningkat setiap tahunnya. Sudah pasti lembaga-lembaga
yang bergerak pada kepedulian muallaf sangat diperlukan dan harus tetap eksis
menggelorakan semangat dakwah.
Muallaf di Aceh
Dalam data yang
dirilis harian Serambi Indonesia, jumlah muallaf di Banda Aceh telah mencapai
400 jiwa orang (Serambi Indonesia, 16 Agustus 2012). 400 jiwa ini
menjadi tanggung jawab kita bersama dalam hal membina, mengikutkan mereka dalam
komunitas dan majlis ilmu.
Baru-baru ini kita
kembali mendapat kabar tentang beberapa warga asing yang masuk Islam di Aceh. Setelah
seorang warga Perancis mengucapkan syahadat di Mesjid Raya Baiturrahman (Serambi
Indonesia, 17 November 2012) giliran warga Jakarta masuk Islam di Blang
Pidie (Serambi Indonesia, 24 November 2012) Kemudian disusul lagi
sekeluarga dari tanah Nias mengucap syahadat di Blang Pidie, (Serambi
Indonesia, 1 Desember 2012) bumi Aceh seolah bergetar dengan bertambahnya
saudara seiman. Ini kembali menjadi
tantangan dan ujian bagi kita sejauh mana amanah dakwah yang telah Allah berikan
mampu kita jaga dan bina.
Kita sangat
menyayangkan ketika forum-forum atau lembaga yang bergerak dalam kepedulian
terhadap muallaf masih terasa kurang eksis di Aceh. Sebaliknya para muallaf di
Aceh telah membentuk komunitasnya sendiri dengan nama Persatuan Muallaf Aceh
Sejahtera (PMAS). Namun sayangnya lembaga ini belum banyak mendapat perhatian
pemerintah maupun lembaga-lembaga agama dalam hal bimbingan agama. (Serambi
Indonesia, 16 Agustus 2012).
Jika ada program mengadakan
pesantren kilat, maka hal tersebut penulis rasa belumlah memadai. Harus ada
sebuah pengajaran ilmu agama secara berkelanjutan dan bertahap (tadarruj)
apalagi untuk para muallaf. Memberikan bantuan-bantuan sembako adalah hal yang
penting, namun ada amanah dakwah yang sangat penting tak boleh diabaikan.
Kedepan kita sangat
berharap ada hubungan insten antara lembaga agama dan pemerintah dengan muallaf. Bahkan lembaga-lembaga
terkait harus fokus dalam hal mendidik para muallaf agar mampu membaca al-Quran
dengan baik atau menjadi hafiz
sekalipun. Hal ini sendiri mengikut tradisi para muallaf di Eropa yang begitu
bersemangat dalam belajar membaca al-Quran
dan menghafalnya.
Kepedulian kepada
muallaf menjadi satu hal penting ditengah kuatnya arus zionisme membobol benteng
pertahanan Islam. Kita perlu bergerak dan merangkul mereka dalam satu bangunan
mulia Islam. Mari menyiapkan diri secara baik untuk tujuan mulia dimaksud.
Akhir kalam, selamat mengikuti ujian keu rakan dan guree-guree
mandum, saling mendo’akan, bi at-Taufiq wa al- Imtiyaz!
*Mahasiswa Tk III Fak. Syari’ah, Univ. Al-Azhar, Kairo.
*Mahasiswa Tk III Fak. Syari’ah, Univ. Al-Azhar, Kairo.
0 Komentar