Advertisement

Maktabah Halabi dalam Silaturrahmi Aceh Mesir (Bagian Satu)

 Harus diakui bahwa persentuhan sejarah Aceh-Mesir memang tidak sebanyak negeri Persia, Yaman, Turki dan Baghdad yang jauh-jauh hari telah menyumbang khasanah budaya dan agama. Turki misalnya telah membangun hubungan yang sangat harmonis  lewat kerja sama bidang militer dan agama.

Yaman terkenal dengan isu penyebaran Islam berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nisan-nisan raja Aceh banyak yang didatangkan dari negeri Persia, sementara Baghdad  mempunyai peranan lewat ulama-ulamanya yang telah berasimilasi dengan penduduk asli, pimpinan Dayah Tanoh Abee adalah adalah satu tamsil dimaksud.

Keberadaan Maktabah dan Mathba’ah Halabi Mesir tidaklah dipandang sebelah mata. Karya-karya ulama Aceh yang kita dapati disini menjadi sesuatu yang luar biasa bahwa hubungan yang bersifat informal telah coba dibangun antara dua kawasan yang berbeda jauh budaya.
Pergumulan para pelajar Melayu  awal abad 20 telah membentuk sebuah rumah silaturahmi yang indah dan bersahaja. Tradisi  menyambut para penuntut ilmu dari luar telah menempatkan hubungan yang sedemikian komplek.

Tulisan ini tidaklah bermaksud jumawa, mengingat kajian terhadap Maktabah Halabi selama ini  masih berkisar pada blog-blog yang hanya mengkaji kitab-kitab  Melayu tertentu. Sayangnya,  realitas yang terjadi sekarang adalah minat pelajar-pelajar kita kepada kitab Aceh-Melayu masih sangat kurang.
Penting bagi kita untuk melihat kembali bagaimana  keadaan sosial di Mesir kala itu, sampai pada pendirian Maktabah dan Mathba’ah Halabi tepatnya tahun  1337 Hijriah atau 1916 Masehi.
Para kaum perantau Aceh memang dihinggapi semangat nasionalisme tinggi disamping nilai-nilai keagamaan yang tumbuh seimbang. Adalah Syekh  Abdullah bin Isma’il Al-Asyi yang menetap di Mesir telah mengarang sebuah kitab yang sangat monumental, Nuzhatul Ikhwan. Kitab ini menandai betapa perkembangan bahasa Aceh dalam bentuk tulisan  coba dirawat oleh Syekh Abdullah secara bernas.

Nuzhatul Ikhwan mampu mengambarkan betapa tingginya intelektualitas Syekh Abdulah. Yang mengejutkan adalah Syekh Abdullah mampu menguasai bahasa Turki dengan mendalam; tempat bersuka-suka hati segala saudara pada pelajaran empat bahasa, mula-mula  bahasa Arab dan Turki dan Melayu dan Aceh tulis Syekh Abdullah bin  Isma’il Al Asyi.

Nuzhatul Ikhwan tak luput mengambarkan bagaimana tingginya kecintaan Syekh Abdullah bin Isma’il Al-Asyi pada negerinya. Hal ini wajar sekali apabila dikaitkan dengan kondisi sosio kultural Aceh yang saat itu masih terlibat dalam perang Aceh-Belanda.

Umumnya kitab-kitab Melayu cetakan Maktabah Halabi  berisi maklumah-maklumah baru. Kitab Jam’ul Jawami’ Al-Musannifat  misalnya ketika mengupas tentang dukungan Sultan Aceh  kepada ulama-ulama  pengarang kitab ini agar segera menyelesaikan maha karya dimaksud. Ciri khas Maktabah Halabi terlihat  lewat pembubuhan dan upaya menjaga  identitas Maktabah Halabi sendiri yang mempunyai nama lengkap Mustafa Albabi Alhalabi wa Auladuhu bi Mashr.

Tak hanya itu Halabi ikut menyertakan bulan dan tahun cetak disetiap karya yang diterbitkan. Dari beberapa kitab Melayu yang kita lihat, umumnya kitab-kitab tersebut dicetak pada awal abad 20. Bidayatul Hidayah, Syarah Matan Ummul Bahrain: dicetak pada bulan Syakban 1342, Muqaddimah Subyan; dicetak pada bulan Rabiul Awal 1349.

Dhammon Serta Madkhal; dicetak pada bulan Ramadhan 1349,  Fathur Rahman fi ‘Aqaid Iman; dicetak pada bulan Safar 1342. Al Wahbah Ilahiyah; dicetak pada bulan Rabi’ul Awal 1345, Ilmu Tajwid Quran; dicetak pada bulan Safar 1342.

Tamrin Subyan; dicetak pada bulan Syawal 1348. Ushuluddin; I’tiqad Ahlu As-Sunnah wal Jama’ah dicetak pada bulan Zul Hijjah 1340 Hijriah. ‘Aqaid Ahlu Sunnah wal Jama’ah; dicetak pada bulan  Jumadil Ula 1341 H.

Kita menemukan adanya hubungan antara beberapa pengarang kitab satu dengan lainnya sebagai hubungan antara murid dan guru. Misalnya Kitab Bidayatul Hidayah, Syarah Matan Ummul Barahin dalam mukadimahnya turut menyertakan dua bait syair  Syekh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fatani. Syair Ahmad Al-Fatani memuji pensyarah kitab Ummul Barahin, Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Al-Asyi yang notabene adalah muridnya.

Dalam kitab Bidayah Al-Hidayah ini,  kita menangkap  romansa keilmuwan yang dibangun antara   Syekh Ahmad Al-Fatani dan Syekh Muhammad Zain Al-Asyi.
Maktabah Halabi menerima amanah mulia tawadhuk dengan tidak membubuhkannya nama pengarang kitab. Kita akan menjumpai beberapa kitab yang hanya menulis;  Alfaqir ilalallah, Hamba yang Dhaif, Karangan Waliyullah Tiada Disebut  Namanya.

Maktabah Halabi yang sederhana ikut memperkaya khasanah Arab-Melayu yang komplek. Walaupun tidak seberapa banyak, tetapi hal ini menjadi tolak ukur urgensitas menulis Arab-Melayu kala itu.
Mau tidak mau harus ada apresiasi yang besar kepada Maktabah Halabi.  Kita telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Maktabah Halabi adalah ekpresi spontan betapa hubungan persaudaraan  bisa tumbuh menjadi sesuatu yag luar biasa lewat pergumulan keilmuwan ulama Melayu masa lalu yang menjadi bukti silaturrahmi Aceh-Mesir.

Posting Komentar

0 Komentar