Advertisement

Mencari Pertautan Muslim Aceh dan Turkistan Timur

Tiga  tahun lalu,  saya mengikuti sebuah worshop yang diadakan Studi Informasi Alam Islami (SINAI) di pesanggrahan Jawa Barat, Hai Asyir, Kairo.  workshop yang mengangkat tema tentang kehidupan bangsa Muslim Turkistan Syarqiyyah atau Turkistan Timur dalam hukum negara China. Orang China menyebut bangsa ini dengan sebutan Xinjiang. Padahal nama ini merupakan ejekan besar orang China kepada bangsa Turkistan ini, sama seperti ejekan Belanda kepada Nusantara dengan sebutan Irlander.

Tahun 2012 ketika  saya menunggu pesawat menuju Kairo di Bandara KLIA Malaysia, saya menyempatkan mengunjungi bookshop yang ada di bandara, mata saya langsung tertuju kepada sebuah buku yang cukup menarik karya Ann Wan Seng tentang Turkistan Timur, minoritas Muslim di China, buku yang  berbahasa melayu ini kemudian saya beli dengan harga 20 Ringgit.
Buku ini  baru terbit tahun 2011, Ann Wan Seng merupakan penulis produktif dari China Muslim yang menetap di Malaysia. Buku ini banyak mengungkap bagaimana kegelisahan dan kekecewan Ann wan Seng mengungkapan tragedi kaum Muslimin yang dijajah  China.

Buku ini menarik karena ditulis langsung muslim China, yang mengerti benar bagaimana budaya dan konflik sosial agama yang terjadi disana. Tercatat  Ann Wan Seng  sudah menulis lebih dari 40 buku. Beliau adalah wakil persatuan Cina Muslim di Malaysia, dan mendapat penghargaan sebagai tokoh Mall Hijrah Peringkat Selangor 2009.

Ann Wan Seng dengan penuh emosional menulis  bagaimana menjajahnya pemerintah China dengan memberikan sebutan Xinjiang artinya wilayah atau kawasan baru. Penulis beberapa kali bertemu dengan pelajar dari Turkistan Timur, ada kesan mereka menjauhi istilah Xinjiang, sama seperti beberapa pelajar Nusantara yang menjauhi istilah Indonesia.

Sejak dulu, Turkistan Timur  memegang peranan penting dalam Jalur Sutra, sehingga disinilah tempat bertemunya beragam bangsa dengan peradaban yang khas. Terkait Jalur Sutra, Ibnu Batutah juga memanfaatkan jalur ini dalam rihlahnya sampai ke wilayah Pasai.

Penulis jadi ingat dengan novelnya kakanda Teuku Azhar Ibrahim, beliau mengambil setting tentang China Muslim, bagaimana tokoh novel melakukan perjalanan menuju Mekkah via jalur sutra yang masuk kawasan Xinjiang dengan baragam konflik di daratan China. Hemat penulis sangat jarang penulis sastra di Aceh mengambil setting China.Sebagaimana yang ditulis Ann Wan Seng bahwa kawasan Xinjiang mempunyai alam yang sangat indah, sehingga banyak karya sastra yang terinspirasi dari kawasan ini.

Ulasan-ulasan Ann Wan Seng dalam bukunya mengingatkan penulis tentang pertautan kesultanan  Aceh Darussalam dengan China  tahun 1500-an bahkan ketika orang-orang China datang ke Pasai tak tertutup kemungkinan etnik etnik dari Turkistan Timur yang bermata sipit ini juga berziarah kesini. Menurut Ann Wan Seng, Turkistan Timur yang terletak di sepanjang jalur Sutera ini telah dikenal sebagai Pusat perdagangan dua ribu tahun lalu.

Etnik di Xinjiang atau Turkistan Timur ini memiliki pertautan yang cukup dekat dengan Turki, bagi orang Turki sendiri tanah Turkistan Timur adalah tanah indatu mereka khususnya bagi orang-orang Turki yang bertutur bahasa Uygur dan orang-orang Asia seperti Kazak, Kirgiz, Uzbek, Tatar dan Tajik.  Dalam catatan Ann Wan Seng, populasi Muslim disini sekit5ar 10 Juta dan sebagian besar orang Uygur.

Terkait dengan orang-orang Uygur ini, penulis mempunyai kesan sendiri ketika berada di asrama Turki satu tahun lalu, dimana Direktur dan beberapa pekerjanya adalah orang Uzbek dan Uygur berbahasa Turki. Dari penuturan mereka penulis mendapat sebuah maklumah bahwa karya sastra Laila wa Majnun yang mengekpresikan Hubbun Jamman yang sangat terkenal itu asal mulanya berasal dari buah karya orang Uygur, walaupun pernyataan ini harus diteliti kembali.

Imam Bukhari sendiri berasal dari wilayah Uzbek,  termasuk Imam Sunni bermazhab Hanafi yakni Abu Mansur  Almaturidi yang berasal dari Matrud, Samarkand yang masuk dalam geografis Asia Tengah. Sehingga hampir semua muslim Asia Tengah bermazhab Hanafi dan berpaham Almaturidi.
Lalu bagaimana Aceh menempatkan diri dalam narasi Turkistan Timur dulu dan kekinian. Penulis teringat dengan Laksamana Malahayati yang mempimpin angkatan laut pasukan Inong Balee.
Malahayati mendapat pendidikan khusus dari perwira Turki dalam pusat pendidikan Asykar Baitul Maqdis (Ali Hasyimi, 1993) Para guru dari Turki ini sudah barang tentu berasal dari etnik-etnik tadi.

Seperti diketahui bahwa Turkistan Timur atau Xinjiang yang masuk dalam wilayah China sangat terzalimi, mereka bahkan dituduh teroris oleh pemerintah Beijing. Ann Wan Seng dalam bab terakhir buku ini menutup dengan judul masa depan muslim Turkistan Timur. Ann Wan Seng menyampaikan keluhnya bagaimana orang-orang China itu beranggapan bahwa Islam hanya orang Arab dan melayu saja, dalam catatan An Wan Seng sekarang umat Islam di China telah mencapai 130 juta orang, namun angka ini telah dikecilkan oleh pemerintah Beijing hingga dengan menyebut 30 juta saja untuk tujuan seolah muslim di china ini bersifat minoritas.

Penindasan dan pembersihan etnik yang dilakukan China kepada bangsa Turkistan Timur dimaksudkan untuk mengecilkan populasi penduduk Turkistan Timur, terbunuhnya 200 etnik muslim Uighur dalam konflik dengan etnik Han yang bukan Islam telah menjadi simbol kebangkitan etnik Uighur untuk menuntut kemerdekaan daripada penjajahan komunis China, tapi pemerintah komunis malah menuduh Uyghur sebagai pengacau.

Sekarang ini menurut ann Wan Seng hidup masyarakat Uighur di Turkistan Timur tidaklah tenang dan nyaman, mereka sama persis seperti muslim Rohingya, bayangkan jika seandainya letak geografis Turkistan Timur berada di dekat laut tentu mereka memilih mengungsi dan mungkin saja akan terdampar di Aceh.

Berbeda dengan Rohingya, menariknya tokoh-tokoh Uighur tidak tinggal diam, dibanding pergerakan pembebasanyang ada di Rohongya , Uighur memiliki tokoh buangan di Amerika yang diharapkan bisa menyuarakan kebebasan bagi Turkistan Timur, namanya Rabeeya Kadir.

Ann Wan Seng menutup bukunya bahwa akan terus ada sebuah perjuangan untuk masa depan bangsa muslim Uighur untuk bisa hidup dan  beribadah dengan nyaman. China harus disadarkan kembali bahwa Islam pernah memiliki sejarah kegemilangan di China, masa itu umat Islam bisa hidup bersama-sama dengan etnik beragama lain dalam satu dinasti.  Umat Islam telah memberikan sumbangan besar dalam membangun China, dan apa yang diminta oleh Xinjiang hanya menuntut  hak dan milik mereka yang dirampas oleh pemerintah komunis. 

Tulisan ini sebagai bentuk dukungan terkecil selain untaian doa kepada saudara muslim bangsa Turkistan, nama yang mungkin luput dari pemberitaan media, nasib yang juga dirasakan Rohingya. Aceh memiliki ikatan batin sebagai sesama muslim juga ikatan sejarah dimana indatu mereka, suku Uygur yang menjadi cikal bakal bangsa Turki pernah membina hubungan baik dengan Aceh, dulu dan sekarang.





Posting Komentar

0 Komentar