Selama ini situs sejarah islami belumlah dipandang sebagai ziarah religi. Ritual ziarah pada objek dimaksud baru masuk pada ranah safari. Makam para ulama seperti makam Teungku Syiek Pante Kulu, Teungku Syiek Awe Geutah dan Teungku Syiek di Tiro belumlah dimasukkan dalam nilai-nilai ibadah. Padahal dalam kacamata agama, ziarah kubur merupakan satu ibadah yang akan mengingatkan kita pada kampung keabadian.
Objek sejarah islami baru diselidiki mendalam oleh para pakar yang bergerak khusus dalam bidang kajian sejarah. Hal ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Ardhul Kinanah, Mesir, walaupun pada bagian lain ada terjadi penentangan terhadap aktifitas furu’iyah ini, namun hal ini tak memberi pengaruh yang signifikan mengingat pengaruh dan kekuatan ulama Rabbani yang demikian besar.
Di Mesir, Makam Sayyidina Husein, Imam Syafi’i, Imam Zakaria Al-Ansari dan makam para ulama-ulama lainnya telah banyak diziarahi. Ini menunjukkan bahwa penziarah tersebut paling tidak telah menyadari tentang subtansi ziarah yang sangat erat kaitannya dengan unsur religi.
Rasulullah dalam hal ini bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dari A’isyah ia berkata adalah Nabi Saw ketika sampai giliran beliau padanya (A’isyah) beliau keluar pada akhir malam hari itu ke kuburan Baqi’ seraya berkata; Assalamu’alaikum hai tempat bersemayam kaum mukminin. Akan datang kepadamu janji Tuhan yang ditangguhkan itu besok, dan kami insya Allah akan menyusulmu. Wahai tuhan ampunilah ahli Baqi’ Al-Gharqad (HR, Muslim)
Kita belum mempersoalkan makamnya para ulama yang bersentuhan dengan kultural keagamaan di Aceh, sebutlah makam pengarang Dalail Khairat, Syekh Sulaiman Al-Jazuli di Maghribi, nisbah Jazuli merujuk kepada sebuah kabilah di Susil Aqsha, Maghribi. Masyarakat Aceh post-modern sama sekali tak menaruh perhatian dengan makam-makam tersebut apalagi berniat untuk menziarahinya.
Padahal, bagaimana bersahajanya orang-orang terdahulu mentakzimi para ulama baik yang telah hidup maupun meninggal. Niat kita adalah mengambil keberkahan dari para ulama (tabarruk), Dalam kajian tasawuf-sufistik laku ini mendapat tempat tersendiri. Sebaliknya mentakzimi para ulama yang masih hidup dilakukan dengan selalu menghadiri majlis ilmu.
Penulis terkesan ketika pada suatu hari berada di sebuah Dayah kecil di Gampong Reubat, Pidie. Anak-anak diajarkan untuk berdiri manakala sang guru telah menaiki balai pengajian. Bahwa spirit mentakzimi ulama terus ditumbuhkan pada generasi muda walaupun arus sekulerisasi semakin menghadang dunia pendidikan .
Kita ingat tentang eksistensi seorang ulama asal India yang menjadi mufti di kesultanan Aceh. Karya besar beliau semisal kitab Shiratul Mustaqim menjadi bahan rujukan para masyarakat dalam hal Fiqih, pertanyaannya dimana lokasi makam mufti kesultanan Aceh tersebut?
Apakah ada orang Aceh yang pernah berziarah kesana? Persoalan ini penting dipertanyakan sebab menyangkut penghormatan kepada sosok yang telah berjasa melambungkan nama Aceh.
Perjalanan wisata ke makam ulama harus digalakkan pada generasi muda. Anak-anak setingkat sekolah dasar harus dituntun untuk berwisata religi ini. Ketika ada orang Aceh yang berwisata ke Danau Toba di Medan, alangkah eloknya jika menyempatkan diri mengunjungi makam Abu Keumala, ulama Aceh yang mempunyai andil mensyiarkan Islam di rantau Medan.
Silaturrahmi makam para ulama menjadi sebuah silaturrahmi sejarah dan ibadah. Laku yang mendapat tempat dalam Islam. Syekh Amin Al Kurdi dalam kitab Tanwirul Qalbi menyebut ziarah makam untuk memperbaiki hati yang buruk. Sebuah silaturrahmi yang seyogyanya bisa menuntun kita kepada pengajaran tentang hakikat kehidupan sebenarnya. Sehingga tubuh akan terus bergerak untuk bertafakkur dan mengingat bahwa kematian itu begitu dekat.
Haji Abu Lahab
Jauh sebelum kedatangan Rasulullah Saw, ritual ibadah haji telah berlangsung di Baitullah, Mekkah Al-Mukarramah. Ritual ibadah haji sebagai kesinambungan dari syariat Nabiyullah Ibrahim tak lagi dijalankan secara benar kala itu.
Mereka berhaji dengan penuh jahiliyah sambil menyembah patung latta, uzza dan manna. Tak salah ketika mereka mendapatkan titel haji, maka muncullah nama-nama Haji Abu lahab dan kawan-kawan.
Kebiasaan masyarakat jahiliyah saat itu adalah berperang antar suku, membunuh wanita, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan mencuri. Rasulullah Saw kemudian hadir ditengah masyarakat jahiliyah ini.
Dalam kurun waktu yang relatif singkat beliau mengubah tatanan masyarakat sebagai tatanan yang Rabbani, mempersatukan suku-suku berdasarkan persaudaraan Islam. Sejarah mencatat bagaimana berhala–berhala yang terdapat di sekeliling kakbah dimusnahkan tanpa sisa.
Berhaji Tanpa Titel
Haji merupakan ibadah untuk menyempurnakan rukun Islam dengan syarat berkemampuan. Dalam fiqih kata “mampu” yang dimaksud adalah mampu harta, mampu fisik dan jiwa. Tak bisa dinafikan bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik dengan berjuta orang di dalamnya.
Niat beribadah haji semata-mata hanyalah untuk memperoleh ridha dan kasih sayang Allah. Jika niat beribadah haji hanya untuk meraih titel maka Abu lahab juga telah meraih titel haji. Islam sangat mewanti-wanti jika saja muncul Haji Abu lahab baru yang berhaji setiap tahun lalu pulang ke kampung kembali melakukan perbuatan-perbuatan paling jahal.
Haji Abu lahab cukup menjadi iktibar kepada kita bahwa berhaji tak cukup dengan titel saja, namun bagaimana kita berhaji dengan sepenuh hati dan jiwa, bagaimana kita bisa benar-benar menjawab panggilan Allah seraya berdo’a semoga haji yang kita jalankan menjadi haji yang mabrur disisi Allah.
Ulama –ulama Aceh dahulu sepulangnya dari haji tak pernah menyandang titel dan mempersoalkannya. Apa yang terjadi di sekeliling kita adalah setelah pulang haji kita berkelahi dengan bawahan hanya karena kesalahan penulisan nama tanpa membubuhkan gelar haji.
Bagaimana materialistisnya sudah kehidupan kita, mengejar titel haji adalah bentuk ambisi mengejar dunia. Kita telah melakukan kesalahan besar yang mematikan hati.
Berapa banyak yang sudah bertitel haji tapi masih saja korupsi dan melakukan tindakan asusila. Kita belum memahami ibadah haji sebagai bentuk kesempurnaan rukun Islam.
Di negeri Timur Tengah budaya membubuhkan titel nyaris tidak ada, walaupun tak bisa kita nafikan masih banyak Haji Abu lahab Arab yang menjadi pencuri berkeliaran di sekeling kakbah. Tapi secara umum tidak ada kegilaan mereka kepada gelar haji, walaupun sudah berhaji sepuluh kali.
Kita tak mengharapkan mental –mental Haji Abu lahab ini tumbuh di Aceh. Kita menginginkan generasi muda Aceh dekat dan hidup dengan nama Allah seperti apa yang disampaikan Amru Khalid, seorang penceramah Mesir lewat istilah bismika nahya. Dengan nama Allah kita beribadah jauh dari seribu satu gelar.
kita menerima amanah akan pesan-pesan Rasulullah ketika berkhutbah pada haji Wadak. Diantara pesan Rasulullah tersebut adalah perintah untuk selalu menjaga persaudaraan antar sesama muslim, menghormati dan berlaku adil pada wanita serta meninggalkan segala tradisi jahiliyah seperti pembunuhan, benci dan dendam.
Pesan Rasulullah ini seyogyanya kita renungkan kembali dalam-dalam, apakah kita sudah menjalaninya sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji. Apakah kita sudah melindungi istri dan anak-anak perempuan kita dari perilaku jahiliyah?
Bagaimana rasa persaudaraan antara sesama urueng Aceh hari ini yang katanya sebagai bangsa teuleubeh, sudahkah kita merajut erat rasa persaudaraan itu atau malah menghancurkannya? Kita mempunyai tugas untuk menjalankan pesan-pesan Rasulullah dalam haji wadak, bukan malah mengejar titel haji dan hajjah.
Syekh Ismail bin Abdul Muthalib Al- Asyi dalam kitab Jam’ul Jawamik Al-Musannifat menyebut bahwa sebelum berhaji harus ada penguasaan tentang seluk beluk haji secara sempurna. Sehingga kita mengetahui pula hikmah dan esensi ibadah haji agar kaum muslim tak lagi melahirkan haji-haji yang Jahal dengan buet Jahiliyahnya.
Salah satu pesan dari ibadah haji adalah memupuk kecintaan yang besar kepada Rasulullah. Melaksanakan setiap perintahnya dan menjauhi larangannya. Di Madinah kita berziarah ke makam Rasulullah bertemu dengan sang kekasih Allah, lalu kita berucap; Assalamua’alaika ya Rasulullah, Assalamu’alaika ya nabiyallah asalamu’alaika ya nabiyar rahmah.
Ketika kita dalam perjalanan dari Mina menuju Arafah sebuah doa yang sangat indah kita panjatkan: Ya Allah ya Tuhan kami, kepadamu kami bersimpuh, jadikanlan dosa-dosa kami terampuni, jadikan haji kami sebagi haji mabrur, kasinhanilah kami ya Allah ya Tuhan kami.
Ibadah haji taklah dipahami sebagai perjalanan wisata, Syekh Ali Jum’ah ketika mengulas kitab Manasikul Hajj juga menyebut sebuah Atsar yang diriwayatkan Siti ‘Aisyah dan Ibnu Abbas bahwa melihat Baitullah saja akan menjadi pahala.
Ibadah haji sesuai dengan surat Ali Imran ayat 96-97 adalah ibadah untuk menghidupkan ruh kita kembali. bagaimana kita menyambut panggilan Allah seraya mengucapkan; Labbaikallahumma labaik.
Akhirnya kepada para calon jamaah haji selamat menyambut panggilan dan jamuan Allah di tanah suci. Semoga kita semua menjadi haji yang mabrur dan termasuk kelompok yang selalu mengagungankan syiar-syiar Allah. Dzalika wa man yu’adhim sya’airallah fainnaha min taqwal qulub (Al- Haj, 32).
0 Komentar