Advertisement

Meneladani Optimisme Nabi




Setiap dimensi perjuangan Rasulullah selalu dipenuhi dengan semangat optimisme. Optimisme yang didefenisikan sebagai rasa percaya diri dan terus bersemangat dalam berjuang ini dipraktekkan Rasulullah dalam setiap ruang kehidupan dakwah bersama para sahabat. Optimisme ini kemudian diwariskan kepada para sahabat yang mulia. Mata rantai itu terus saja berlangsung sampai Islam mencapai puncak kegemilangan dalam segala bidang.

Dakwah Islam juga mencapai kegemilangannya. Islam cepat berkembang dengan landasan perasaan optimisme. Perang Badar misalnya, lebih kurang 300 kaum muslimin berperang dengan seribuan kaum musyrikin Mekkah. Tetapi Rasulullah membakar semangat kaum muslimin. Rasa optimis akan kemenangan menjadi salah satu kunci kemenangan kaum muslimin kala itu.

Syekh Ayyub Al Azhari, seorang guru kami di Mesir bahkan sampai terharu ketika menjelaskan bagaimana perjuagan Rasulullah dalam perang Khandak, padahal Kaum Mekkah saat itu membawa pasukan yang sangat besar.  Lagi-lagi perasaan optimis meraih kemenangan telah membakar semangat kaum muslimin kala itu.

Para sahabat juga bertindak demikian, dalam setiap keputusan, atau setiap peperangan mulia yang diikuti, tetap saja rasa optimisme bersarang dalam hati para sahabat mulia bahwa hidup mulia atau mati syahid.   

Kita lihat lagi bagaimana dasyatnya optimisme yang dimiliki para generasi paska sahabat. Warisan ini telah dipraktekkan dengan elegan oleh Bani Umayah dan Abbasiyah, walaupun dikemudian hari optimisme kaum muslimin mulai surut akibat lebih mementingkan ego dan materi yang telah mampu mengalahkan sifat optimisme dimaksud.

Dunia kemudian memuji bagaimana optimismenya Shalahuddin Al Ayyubi dan sultan Muhammad Alfatih membela dan menguatkan Islam. Bahwa Islam sejatinya adalah agama  yang mengajarkan nilai optimis dalam menyongsong setiap sendi kehidupan. 

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa ada  ruang kosong seperti apa disebut Syekh Ramadhan Buthi rupanya tak dimanfaatkan kaum muslimin untuk memupuk semangat optimisme membangkitkan kembali ilmu pengetahuan sebagaimana masa Umayah dan Abbasiyah. Rasa optimisme itu justru diambil barat dan dielaboriskan melalui  semangat ilmu pengetahuan. Padahal agama itu berlandaskan Iman, Islam dan Ihsan. Optimisme itu sendiri adalah bagian dari praktek nilai ihsan. 
Hari ini umat Islam semakin tak lagi percaya diri, berlaku lost control dan lemah dalam kepercayaan diri. Sehingga apa yang terjadi adalah perilaku wasternisasi yang sedemikian merajalela di belahan negeri Islam.

Sebagian penduduk muslim Arab hari ini tak lagi bangga dengan berbicara bahasa ibunya.  Ramai-ramai mereka belajar bahasa Inggris dan mempraktekkan bahasa Inggris. Optimisme umat Islam tampak sedikit pudar mana kala terpilihnya pemimpin buta kasih sayang dari negeri super power. Konflik-konflik keduniawian telah membuat rasa optimis berubah menjadi pesimis. 
Bangkitkan Kembali Optimism ala Nabi.

Ada apresiasi yang harus diberikan dalam geliat Islam di Indonesia dalam beberapa tahun ini. dimana geliat optimisme telah muncul.  Pelaksanaan syariat Islam masih bertahan di Aceh dengan implementasinya secara perlahan. Begitu juga dengan animo untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah di beberapa provinsi di Indonesia. Ditambah lagi respon terhadap isu-isu penting elit-elit Islam di ibukota seperti halnya kasus Ahok. Ini menjadi titip penting bagi kemajuan optimisme umat Islam di Indonesia.

Kita ingat kembali kepada hadis yang mengajarkan bagaimana pentingnya rasa optimis; Aku tergantung persangkaan hambaKu pada diriKu, dan Aku bersamanya apabila ia mengingatKu. Surah Al- Hijr ayat 56 juga harus menjadi perenungan bagi umat Islam kembali; Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat. Begitu juga dengan Surah Yusuf ayat 87; Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.

Ada kisah-kisah menarik dalam Alquran tentang kedasyatan optimis, diantaranya kisah nabi Yunus yang ditelan hiu, kisah nabi Zakaria yang berdoa kepada Allah  diusianya senja agar dikaruniai seorang anak. Kisah Nabi Ibrahim yang selalu optimis menghadapi rintangan juga bagaimana optimisnya Nabi Nuh dalam berdakwah walaupun cuma saja segelintir yang beriman. 

Nilai-nilai optimis harus kembali disemai pada umat Islam di Aceh hari ini. Orang tua harus mendorong anaknya belajar dengan perasaan optimis. Mencari nafkah sebagai bagian dari ibadah harus dilihat dalam kacamata optimis bahwa Allah maha rahman dan rahim.

Berbagai isu termasuk politik juga harus disikapi dengan perasaan optimis, bahwa Islam di Aceh khususnya  akan kembali berjaya, Meunasah dan Masjid akan lebih semarak dengan para jama’ah. 
Optimisme kaum terdahulu harus menjadi contoh untuk masyarakat Islam hari ini. Termasuk optimisme dalam dalam merealisasikan apa yang sudah kita janjikan kepada masyarakat apalagi  masyarakat Aceh akan memilih pemimpinnya dalam beberapa hari lagi. Akhirnya umat Islam harus tetap berjuang untuk melakukan kebaikan-kebaikan sebagai bentuk ibadah paling mulia, jangan pernah berputus asa. Allah Musta’an.


Posting Komentar

0 Komentar