Advertisement

Menghadirkan Sifat Ihsan

Sudah menjadi fitrah manusia untuk menyukai segala sesuatu yang berbau kebaikan dan keindahan. Dalam perjalanannya, fitrah ini sendiri kemudian dilanggar, manusia ada yang pura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu, sehingga lahirlah akhlak-akhhak manusia jauh dari sifat ihsan.

Ihsan adalah pembersihan diri dari sifat-sifat buruk manusia.  Ihsan sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Jibril adalah; Engkau menyembah Allah seakan-akan melihatnya, jika engkau tak melihatnya maka Allah melihatmu. Ihsan merupakan tingkatan iman tertinggi sebagaimana dijelaskan dalam Hadis; (Sebaik-baik iman, bahwasanya engkau mengetahui  bahwa allah senantiasa melihatmu dimana saja engkau berada. HR Ath Tabrani dan Abu Nuaim).

Menerapkan Ihsan dalam kehidupan sehari-hari butuh kepada proses, banyak sekali kisah-kisah di barat maupun di timur bumi menunjukkan bahwa orang yang mampu menghadirkan sifat ihsan akan selalu unggul di akhir hayatnya (Ahmad Shalaby; 1992). Apa yang dicontohkan dalam sejarah kehidupan manusia generasi pertama harus kembali menjadi iktibar. Dimana sikab berihsan telah sukses diperankan Habil, namun Qabil gagal dalam berihsan yang akhirnya berkibat fatal untuk dia dan Habil.

Beberapa fase pasca kejadian besar itu, sikab ihsan kembali mewarnai dunia dengan turunnya para Nabi dan Wali Allah. Disisi lain perilaku biadab tanpa ihsan telah juga dipraktekkan bahkan dinikmati manusia-manusia terdahulu dimana Allah sendiri  menimpakan azab kepada mereka. Lihatlah bagaimana Alquran menceritakan umat-umat yang sudah dimusnahkan.

Alquran dengan indah sekali menceritakan sifat Ihsan yang dipraktekkan Ashabul Kahfi, kisah Nabiyullah Yusuf, dan Sayyidah Maryam. Bahkan kisah Sayyidah Maryam jika kita kaji adalah contoh sebuah keluarga besar yang menerapkan Ihsan. Seyogyanya kisah-kisah Ihsan dalam Alquran ini menjadi ruh bagi kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dengan kehidupan ihsan penuh mulia. Bahkan Ihsan sebagaimana yang dipraktekan umat pada masa kegemilangan Islam Umayah dan Abbasiyah tak hanya sesama manusia. Ihsan telah tersemai luar biiasa kepada timbuh tumbuhan dan hewan. 

Kita patut bersyukur menjadi umat Rasulullah, dimana Rasulullah sendiri adalah manusia paling agung yang dipuji bumi dan langit. Ihsannya Rasulullah dalam menjalani kehidupan di dunia sudah sangat sering dibacakan dan diperdengarkan melalui ceramah-ceramah agama. Sayangnya sebagaian umat muslim masih belum mampu mencontohkannya walau secuil saja. Peperangan fisik bahkan pemikiran  antar Islam terus terjadi, peperangan yang sejatinya merebut harta dan kuasa yang dipoles dengan beragam kepentingan. 

Apalagi tradisi Maulid sampai tiga bulan di Aceh telah coba dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk saling mengadu domba antar umat muslim. Kita sangat menyayangkan perilaku menghujat yang coba dipraktekkan oknum-oknum yang telah dilabeli dengan tokoh agama. Padahal sejatinya kita ingin menghadirkan sifat ihsan dalam hati masyarakat. 

Kenyataan ini membuat sebagian kita sudah salah kaprah, tak tahu lagi cara berihsan walaupun dalam hati kecil mengakui bahwa apa yang dilakukan jauh dari nilai-nilai kebaikan. Sementara manusia-manusia kafir tanpa kita sadari telah dengan santun memprakrekkan sebagian kecil nilai-nilai Ihsan yang Rasulullah ajarkan. Tidak buang sampah dan merokok sembarangan dan tidak ugal-ugalan di jalan raya adalah bagian kecil dari sifat ihsan yang dipraktekkan oleh non Islam.  

Kita memperhatikan bahwa Meunasah dan Masjid di kampung-kampung di Aceh dalam sepuluh tahun terakhir telah dibangun dengan indah dan besar. Namun laku ihsan masih belum merata. Pembangunan fisik Masjid yang luar biasa itu tak imbangi dengan pembangunan ihsan untuk shalat berjamaah di masjid. Jika sudah azan maghrib misalnya kita bahkan dengan secara tiba-tiba punya kesibukan yang bersifat dadakan seperti menghalau lembu agar kembali ke kandang, sibuk memberikan makan ayam-ayam dan juga mandi ketika azan sudah dikumandnagkan.

Apalagi sifat materialis yang terus menjalar dalam kehidupan sosial umat Islam. Sifat yang jauh dari ihsan ini besar pengaruhnya. Acara televisi sekarang banyak yang tak mengajarkan ihsan, dan ini tak baik bagi laku generasi muda  kedepan. Syekh Kamil el Laboudi ketika datang ke Aceh juga mengingatkan tentang bahaya acara televisi yang jauh dari nilai-nilai kebaikan. Disisi lain kita juga mengapresiasi semaraknya pengajian-pengajian di perkampungan Aceh bertemakan tasawuf untuk menghadirkan sifat ihsan di hati masyarakat.

Sifat ihsan harus kita hadirkan kembali dengan memenuhi kebaikan dalam setiap relung kehidupan. Mulai dari keluarga, tetangga dan masyarakat secara luas. Termasuk dengan membiasakan berbicara santun dengan anak-anak kita. Apatah lagi para manusia ilmu yang sudah berstatus maha dan profesor, seyoyanya kaum inilah yang menyebarkan sifat ihsan ke seluruh penjuru. Apa yang penulis temui justru sebaliknya, naif jika kaum ilmu masih tak mau menghilangkan keegoan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ihsan. 

Penulis tercengang  ketika menemukan fenomena oknum profesor yang jauh dari laku ilmuwan. Lalu penulis menyadari bahwa ada tidaknya sifat ihsan tak menghalangi sesorang mendapatkan titel profesor di negeri antah berantah, bahkan bisa jadi orang sakit jiwa sekalipun akan mendapatkan titel Profesor. Hal ini berbeda sekali dengan apa yang penulis temui di negeri atas angin, bahwa berhadapan dengan profesor itu sangat meneduhkan dan penuh kebapakan. Darinya terpancar cahaya-cahaya ilmu yang membuat jiwa terus bergelora menggali ilmu

Bagaimanapun, menghadirkan sifat Ihsan adalah niscaya sebagai sebagai hasil pasti dari iman dan kesempurnaan Islam kita semua. Sesungguhnya orang-orang yang telah beriman  dan mengerjakan amal shalih, sungguh kami tidak akan mensia-siakan pahala orang yang telah berbuat secara baik. (QS Al Kahfi; 30).  

Posting Komentar

0 Komentar