Advertisement

Meudagang U Dayah Tinggi

Islam adalah agama yang sangat mengutamakan pendidikan (tarbiyah) bagi setiap pemeluknya. Dalam perjalanannya islam telah memperkenalkan sebuah corak pendidikan khusus (ta’limul khas) yang diajarkan oleh para alim ulama dari dulu sampai sekarang, dan ini telah terbukti berhasil mencetak para kader ulama yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing.


Corak pendidikan khusus (ta’limul khas) tersebut sampai kini masih saja bertahan. Sistem tersebut diistilahkan dengan talaqqi. Sebuah sistem pembelajaran bersemuka antara guru dan murid. Dalam konteks Aceh kita akan menemukan corak (system) yang sama dan lebih berkembang dengan adanya tanya jawab (diskusi) antara murid dan teungku yang mengajarkan.

Kemajuan tekhnologi mutakhir, mengharuskan umat islam di Aceh mengejar ketinggalan mereka. tak terkecuali alumni dayah juga dituntut untuk bisa melahirkan karya-karya monumental lewat tulisan ilmiyah serta penguasaan bahasa asing secara baik. Oleh sebab itu, sebuah keharusan bagi lembaga dayah untuk memperbaharui “kurikulumnya” tanpa menghilangkan ciri khas dari dayah itu sendiri. Pendirian Dayah Tinggi (Ma’had ‘Ali) penulis rasa adalah sebuah terobosan baru untuk menuju ke level yang dimaksud.

Dalam sebuah silaturrahmi dengan Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir beberapa waku lalu, Tgk H Nuruzzahri Yahya yang akrab disapa Waled Nu, menyebutkan bahwa dayah tinggi akan menjadi pilihan mereka yang meudagang di dayah, dengan memilih spesialisasi yang sesuai dengan minatnya. Baik itu spesialisasi hadis, fiqih, ataupun tafsir. Beliau mendorong generasi muda Aceh, untuk belajar ilmu-ilmu agama , termasuk “meramaikan” Dayah Tinggi (Ma’had ‘Ali).

Pada kesempatan lain wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar juga meminta menteri agama agar segera menetapkan dan membantu beberapa dayah yang telah diusulkan untuk menjadi Dayah Tinggi (Ma’had ‘Ali,) yaitu Dayah Kuta krueng, di Pidie jaya, Dayah Mudi Mesra di Samalanga, dan Dayah Malikul Shaleh di Aceh Utara. (Rakyat Aceh Online, 5 november 2010)

Bukan hal yang mustahil, dengan adanya spesialisasi ilmu-ilmu agama tersebut, maka para santri-santri di dayah akan terangsang untuk melahirkan karya-karya monumental , serta bertambahnya minat untuk belajar bahasa asing, mereka juga dituntut untuk bersaing dan berpacu dengan mahasiswa-mahasiswa yang ada di universitas lain di Aceh, Indonesia, maupun mahasiswa di Timur Tengah.

Slowly but sure, harapan penulis kepada para stake holder agar tidak membuang muka begitu saja, artinya lebih serius menangani dayah tinggi. Pendirian Dayah Tinggi (Ma’had ‘Ali) diharapkan bisa lebih meluas lagi sampai merata ke seluruh pelosok di Aceh, tidak hanya terfokus pada ketiga tempat tersebut di atas. Sehingga akan semakin jroh dan menjadi burning spirit bagi semua kalangan untuk menggali ilmu agama.

Dayah tinggi (Ma’had ‘Ali) juga diharapkan bisa menjalin kerja sama yang insten dan profesional dengan universitas-universitas islam lainnya di baik di Aceh maupun di luar. Tak kecuali menjalin kerja sama dengan universitas-universitas yang ada di Timur Tengah, Universitas Al-Azhar Mesir misalnya. Dengan demikian akan memudahkan pengiriman guru pengajar (syaikh) kalau diperlukan. Begitu juga akan memudahkan study banding atau pertukaran pelajar antara Dayah Tinggi dengan universitas-universitas islam lainnya.

Sekali lagi pendirian Dayah Tinggi (ma’had ‘Ali) merupakan sebuah terobosan baru untuk mengembalikan peran keulamaan dan karya besar ulama di Aceh pada masa yang akan datang. Ini bukan tanpa alasan, sejarah patut mencatat kilas balik perjalanan dayah pada zaman kesultanan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan formal maupun informal. Sejarah emas yang harus direalisasikan kembali pada masa kini, dimana para ahli hukum, kedokteran dan disiplin ilmu lainnya lahir dari lumbung dayah.

Dengan corak ini pula, dayah tetaplah sebuah dayah yang keberadaannya diharapkan terus menjadi penggerak (promotor) utama dan penjaga keseimbangan umat, penetralisir budaya-budaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai islam dan menjadi pusat tranformasi ilmu agama bagi semua kalangan. Seperti yang disebutkan oleh Teuku Zulkhairi (opini/SI 6 November 2010) dayah tetap mengikuti irama dunia dengan tetap berpegang pada kaidah almuhafzah ‘ala qadim al shalih, wal akhzu bil aljadidi ashlah, tetap memelihara sesuatu yang baik, dengan melakukan adopsi, kreatif yang inovatif untuk kemajuan pendidikan islam di Aceh. Mari meudagang u Dayah Tinggi!

*Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar, fakultas syari’ah wal qanun. Cairo- Mesir.
Ativis kajian Fakultatif Zawiyah, KMA Mesir.

Posting Komentar

0 Komentar