Romantisme sejarah Aceh turut mewarnai media-media internasional semisal New York Times, surat kabar Amerika. Pada edisi 6 Mei tahun 1873 New York Times menggambarkan dasyatnya perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda, New York times menyebutnya sebagai sebuah bentuk penyembelihan besar-besaran terhadap Belanda (Harry kawilarang, 2010) Hal itu menjadi pertanda bahwa masalah Aceh telah disorot oleh dunia internasional jauh sebelum gelagar gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh penghujung 2004 silam.
Sayang, sebagian generasi terlalu larut dengan romantisme dimaksud lewat sejarah tutur tanpa mau mengabadikannya dalam secarik kertas. Sebaliknya orang-orang luar semisal Anthony Reid giat melakukan proses pengabadian sejarah itu. Begitu juga dengan sosok Jhon Anderson yang memberikan perhatiannya dengan menulis Achem. Tak ketinggalan sosok Zentgraaf asal Belanda, penulis buku De Acehers turut mewarnai ranah penulisan sejarah Aceh.
Padahal sebagaimana yang disebutkan dalam buku Aceh dari sultan Iskandar Muda ke Helsinki, nilai hikayat Aceh zaman dahulu sangat mempengaruhi keontetikan penulisan sejarah, dan ini menjadi tugas besar generasi penerus selaku eureueng Aceh. Bahkan Rj Nix, sejarawan Belanda yang lahir di Aceh ikut menekankan kepada masyarakat Aceh untuk peduli terhadap sejarah bangsa sebagaimana bangsanya memberikan perhatian (SI 23 Oktober 2010) Nasehat Nix agaknya menjadi cambuk terkait apresiasi masyarakat terhadap sejarah. Walau demikan, kita bersyukur masih ada tokoh seperti Ak Jakobi dan segelintir lainnya yang masih peduli terhadap sejarah Aceh, walau umur mereka telah menua dimakan usia.
Semangat mengabadikan kembali nilai-nilai sejarah adalah bentuk apresiasi mulia kepada sejarah. Hal itu bisa melalui berbagai macam cara, salah satunya adalah lewat penerjemahan literatur sejarah ke dalam berbagai bahasa. Upaya penerjemahan tersebut tak hanya dilakukan dalam bahasa Inggris saja tapi juga peran penting bahasa Arab tak boleh dinafikan. Untuk mewujudkan hal tersebut pula, perlu kembali meningkatkan peran keilmuwan mahasiswa takhassus bahasa asing (Arab, Inggris, Prancis, Jerman, Mandarin, Jepang dan lain-lain) apalagi peran penting mahasiswa FKIP sejarah di Unsyiah dan fakultas adab di IAIN Ar Raniry yang notabene telah menjadi bidang garapan mereka.
Dalam memperkaya proses pengabadian itu, situs-situs bersejarah di Aceh juga tak boleh dinafikan, selama ini masyarakat hanya mengenal beberapa situs sejarah tertentu yang bertebaran. Sebut saja meusium Aceh yang banyak menyimpan barang bersejarah orisinil. Juga Keberadaan makam-makam sultan berikut ulama-ulama terdahulu serta sejumlah aset sejarah berharga di luar negeri. Disamping itu masih ada situs sejarah yang mungkin sudah terlupakan, seperti kawasan Keumala dan mesjid Po Teumeuruhom di Busu, Pidie.
Dalam berbagai literarur sejarah, kawasan seperti Keumala acapkali disebutkan, para sejarawan telah melukiskan Keumala sebagai istana sultan yang sangat penting. Keumala menjadi pengendali kesultanan Aceh Darussalam pasca Belanda menguasai istana Kuta Raja. Mesjid Po Teumeurohom melalui sejarah tutur yang penulis dapatkan pernah disinggahi sultan Iskandar Muda, melalui sejarah tutur, bekas persinggahan Iskandar Muda ini kemudian dibangunlah mesjid Po Teumeuruhom. Keumala dan mesjid Po Teumeuruhom mewakili contoh kecil situs bersejarah yang tak lagi dihirau. Sangat naif hal semacam ini akan terlupakan begitu saja oleh generasi penerus.
Akhirnya proses pegabadian sejarah tak boleh terhenti pada generasi tua yang ada sidroe sapat treuek, tapi estafet pengabadian itu harus menjalar pula pada generasi penerus. Sehingga mereka cerdas memilih dan memilah mana sejarah yang baik dan buruk, karena sejatinya sejarah, ia tak bisa dikurang atau dilebihkan. Sekali lagi peran generasi sangat menentukan guna merealisasikan amanah besar ini, karena sejarah Aceh akan terus berlanjut seiring berputarnya roda zaman. Adalah tugas kita mengabadikan apa adanya, sebagai bentuk apresiasi sejarah bangsa. Semoga!
0 Komentar