Advertisement

Mencatat Cairo

Reformasi masyarakat Mesir sedikit banyak telah kami abadikan dalam wujud tulisan sederhana. Kebosanan berdiam diri di rumah yang melanda membuat kami harus mencari angin segar di luar, itu tejadi sebelum gejolak besar menimpa negeri seribu menara. Kami rasa Ini adalah momentum besar untuk mendapatkan banyak ide tulisan. Ini tentang sejarah yang tak boleh dilewatkan begitu saja, yakni sejarah reformasi masyarakat Mesir melawan pemimpin otoriter yang telah berkuasa selama 30 tahun.

Tercatat pada hari Jum’at (28/1/2011) polisi anti huru hara tak mampu membendung massa yang menerobos ke gedung pemerintah. Aksi terus berlanjut sampai sore hari sebagai aksi yang sangat monumental  pasca kemerdekaan Mesir beberapa dekade lalu. Pada hari yang sama pula sebagian besar jaringan internet dan sinyal HP telah di blokir oleh pemerintah. Hal ini berakibat pada sulitnya melakukan komunikasi.

Hari Sabtu (29/1/2011) terdengar lagi berita bahwasanya amukan massa semakin parah dan terus meluas sampai ke pusat pembelanjaan Carrefour distrik Qattamea.  Walau harga sewa angkutan dinaikkan dari biasanya 1, 25 LE menjadi 2 LE, tapi tak menyulut semangat kami untuk melihat sebagian wajah Cairo hingga ke kawasan Sayyeda Aisya. Mobil yang dikenal dengan nama el-tramco melaju diiringi suara musik khas Arab yang kental, mungkin  dimaksudkan untuk sekedar menenangkan pikiran mereka yang tengah bergejolak. Dengan kecepatan sedang, mobil terus merangkak meninggalkan mahattah demi mahattah

Jalan ke Sayyeda ‘Aisya  benar-benar sepi dari biasa. Timbul juga rasa takut dan ciut dari hati kami manakala melihat para massa yang tengah berjaga-jaga di jalan. Tak ada mobil dan sesuatu apapun yang lewat kecuali el-tramco yang kami tumpangi. Kami sempat menduga kalau semua penumpang adalah para massa yang akan melakukan aksi. Tak ada seorang perempuan disana.

Dari luar, tampak  wajah massa yang beringas serta tatapan mata yang tajam. Mereka berpencar, sebagiannya menggunakan ikat kepala dan masing-masing memegang kayu dan besi batangan. Tak jauh dari mereka ada  3 buah tank perang milik tentara. Hampir semua ruas jalan tampak berselemak sampah, seperti baru saja terjadi amukan. Kami tak mampu berpikir apa-apa lagi, kota ini seperti baru saja selesai berperang!

Mobil el-tramco terus melaju, kali ini hasta (supir) tampak mengebut kencang, suara musik bertambah keras diiringi suara sebagian penumpang yang berbicara via telepon seluler. Setibanya di jalan Carrefour, kami melihat barang-barang didalamnya berhamburan keluar tak teratur, Carrefur benar-benar telah dijamah. Sedang di jalan  lagi-lagi terlihat massa yang mukanya sangat beringas, mereka berjaga-jaga, ada yang berteriak-teriak, sayang suaranya tak dapat kami tangkap. 

Setelah melalui kawasan Ma’adi, mobil tank lagi-lagi terlihat. Singkatnya sepanjang perjalanan adalah melihat massa dan tank-tank milik tentara. Tak terasa kawasan Sayyeda Aisya semakin dekat manakala beberapa laki-laki melambaikan tangan, ada sinyal dari mereka bahwasanya mobil tak bisa melewati jalur biasa, tetapi harus melewati jalan pintas perkampungan. 

Tak ada jalan lain selain berbelok, mengambil jalan pintas yang ditawarkan beberapa laki-laki tadi. Kami melewati lorong perkampungan warga yang sempit, yang tak pernah kami lewati sebelumnya. Tampak masyarakat berdiri di depan rumah dengan muka cemas. Nyali kami semakin ciut saja menyaksikan pemandangan-pemandangan yang tak lazim. Ada sebuah mobil yang hancur bagian depannya sedang di deret, poster Husni Mubarak yang biasanya terpampang telah dihancurkan berkeping-keping. Sedikit menyeramkan! 

Kami tiba di Sayyeda Aisya sebelum maghrib, jalan-jalan berselemak sampah, beberapa tiang penopang telah dirobohkan. Suasana begitu sepi dan tegang, mereka yang berwajah cemas terburu-buru mencari angkutan. Hanya ada satu pilihan bagi kami yakni pulang kembali ke Qattamea. 

Untung saja ada satu mobil tramco yang mengantar kami kembali. Para supir juga tak ingin mengambil resiko, sebagian dari mereka telah menghentikan aktivitas mengemudi untuk sementara. Matahari telah terbenam kala kami tiba di Qattamea. Jamaah magrib di mesjid tidak seramai hari-hari biasa. Satu hal menarik yang sempat kami catat adalah ketika sang imam bangkit dan berkata pada jama’’ah “tak perlu takut untuk berjuang, ini adalah negara kita yang harus dibela, ini adalah darah tumpah kita yang  benar-benar harus kita miliki. Jangan pernah takut! Kalau saudara-saudara meninggal nanti, pahala syahid telah menjadi hak saudara dalam perjuangan membela agama dan negara dari rongrongan pemimpin dhalim…!
Cairo, 29 Januari 2011

Posting Komentar

0 Komentar