Advertisement

Gleh Hate



Manusia yang memiliki kebersihan hati adalah manusia hebat, masyarakat Aceh menyebutnya gleh hate. Gleh dalam terminologi Aceh bermakna bersih, bahkan gleh disini bisa bermakna suci. Sedangkan hate adalah hati manusia itu sendiri. Gleh hate merupakan warisan mulia dari nabi, sahabat, dan ulama-ulama setelahnya. 

Gleh hate merupakan sifat para ahli syurga kelak Allah berfirman:  dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara dukduk berhadapan ditas dipan-dipan (Al Hijr ayat 47). Para kaum sufi sendiri menempatkan rasa gleh hate ditempat utama, sehingga dengan gleh hate, tak ada lagi rasa cinta dunia yang berlebihan. 

Gleh hate telah membawa kaum sufi kepada dedikasi tinggi kepada tuhan semesta. Gleh hate telah membuat manusia senantiasa tersenyum ramah pada siapa saja termasuk pada orang-orang yang memusuhi kaum gleh hate itu sendiri. Terbukti sikab gleh hate mampu menundukkan lawan. 

Pada pada zaman nabi ada sahabat yang datang sendiri untuk menyatakan keislamannya, karena terpesona dengan kebersihan hati yang dimiliki nabi. Dalam rentang sejarah Islam kerap kali kita menemukan seorang pemimpin yang gleh hate sukses membawa rakyat menuju kemakmuran dan kesejahteraan.

Kecuali itu para intelektual besar masa lalu yakni para ulama shalafush shalih adalah orang-orang yang sangat bersih hatinya. Sehingga ilmu yang didapatkan dari maha guru selalu menuai keberkatan. Mereka mampu menulis dan mengarang kitab sebanyak-banyaknya  dengan segala kebersihan hati. Dimana mahakarya mereka telah menjadi literatur keilmuwan Islam yang sangat mulia pada zaman ini. 

Sudah terbukti bahwa riwayat hidup orang yang tidak bersih hatinya akan berakhir tragis. Dalam ranah keindonesiaan , kita mendapati nama Sukarno yang mengkhinati Aceh. Sejarah menulis bahwa Sukarno pernah menangis mengiba-iba serta mengucap sumpah manakala Abu Beureueh meminta jaminan terhadap janjinya. Ujung-ujungnya adalah pengkhianatan Sukarno yang Aceh dapat. Bahwa kebersihan hati dari Abu Beureueh tidak serta merta diimbangi oleh laku sang plokamator Indonesia itu.  

Gleh Hate Pemimpin Aceh
Gleh hate merupakan langkah menuju sebuah kemenangan. Sudah saatnya  para stake holder Aceh memupuk rasa gleh hate, yakni gleh hate dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan. Gleh hate yang teraplikasi dalam melayani rakyat.

Mengapa Iskandar muda sukses membawa harum Aceh Darussalam, begitu juga dengan sultan setelahnya yang mempertahankan kedaulatan Aceh? Diantara jawabannya adalah karena bangsa Aceh memiliki pemimpin yang  gleh hate kala itu. Perjuangan mereka benar-benar karena keikhlasan semata mempertahankan marwah tanah dan air Aceh.

Timor Leste yang sekarang pasca kemerdekaannya  masih saja diliputi konflik disebabkan pemimpin dan masyarakatnya tidak mampu mengaplikasikan rasa gleh hate. Masih ada rasa buruk sangka, dendam kesumat, iri hati dan dengki yang menjalar di setiap ruas jalan negara itu.

Gleh hate tidak akan ada pada pemimpin dan masyarakat Aceh selama sifat ku’eh (Hasanuddin Yusuf Adan, SI 29/12 2011)  dan peucohcoh (Hasanuddin Yusuf Adan, SI 14/3 2012) masih bersemayam. Sifat ku’eh dan  peucohcoh sebagaimana yang telah ditulis HYA  mampu merusak seluruh tatanan hati. 

Penulis mengamati manakala hebatnya cecar mencecar politik di jejaring sosial facebook musim pilkada. Bagi orang gleh hate, perilaku cecar-mencecar selalu dihindarinya, karena pada hakikatnya perilaku cecar-mencecar adalah laku yang  menjauhkan diri kita dari rasa gleh hate. 

Dalam pemerintahan tingkat kampung sekalipun kita akan menyaksikan kenyataan miris bahwa gleh hate telah mulai memudar. Adanya konflik antara imum meunasah  dengan keuchik misalnya, atau konflik antara keuchik dengan kepala mukim telah menyebabkan rusaknya keakraban dan keakuran manusia. Dimana hati kolektifitas mereka sendiri telah ternoda. Sehingga tak  ada lagi laku bijak dan dewasa.

Abdul Malik Al-Qasim dalam kitabnya Salamatus Shadr menyebutkan bahwa kebersihan hati tidak akan hadir selama kita masih mentaati syaitan yakni  dengan berlomba-lomba dalam hal duniawi. Lebih lanjut Abdul Malik Al-Qasim menulis bahwa “dunia tidak lain ibarat bengkai yang menipu. Ia dikerumuni sekawanan anjing yang hendak menariknya. Jika engkau menjahuinya, engkau akan selamat. Jika engkau menariknya , anjing-anjing akan berebutan denganmu”
 
Al-Fudhail bin Iyad dalam kitab yang sama meyebutkan bahwa seorang itu tidak cinta jabatan, melainkan ia bersikab hasud, memusuhi dan mencari-cari kesalahan manusia serta tidak tidak suka apabila orang lain yang disebut kebaikannya. 

Gleh hate  terus saja menjadi tolak ukur kebaikan setiap manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dalam sejarahnya, bangsa-bangsa yang gleh hate pernah mencapat tingkat peradaban yang mulia. Alquran sendiri telah menjanjikan kemenangan bagi orang-orang gleh hate. Sementara Aceh masih menyimpan rindu seperti dulu, menanti seluruh elit dan rakyat negeri mengaplikasikan kembali rasa gleh hate dalam setiap kehidupan keacehan yang penuh martabat. Semoga!

Azmi Abubakar, Alumni Dayah Jeumala Amal, Lueng Putu Pidie Jaya, Mahasiswa Aceh di Mesir.

Posting Komentar

0 Komentar