Advertisement

Sleborisme Syari’at

Islam adalah agama suci (hanif) yang Allah turunkan  kepada umat manusia melalui perantara Rasul Muhammad. Manifestasi dari Islam terangkum dalam  bentuk pensyariatan lewat produk-produk hukum agama. Penurunan syari’at dimaksud telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang dibebankan (mukallaf) akan segala hal berbau syari’at. 
 
Hubungan manusia dengan tuhannya (hablum minallah)  senantiasa bergerak hidup. Dimana posisi manusia sebagai hamba (abdon) dapat terus menjalankan segala baktinya kepada pencipta. Pada perkembangannya, para ahli ijtihad (mujtahid) bekerja untuk memahami segala teks suci (nash) yang terkandung dalam syari’at. Mereka berusaha menerjemahkan segala teks suci tersebut (nash)  ke dalam ruang yang lebih mudah dicerna  manusia. 

Hasil dari penerjemahan itu kelak disebut dengan apa yang distilahkan sebagai fiqih. Tradisi fiqih terus berjalan (tadarruj) sesuai dengan spirit Islam yang relevan dengan segala zaman. Namun masalah dikemudian hari muncul ketika teks-teks (nash) yang berisi syari’at tuhan coba dibaca ulang  yakni dengan melabrak aturan-aturan baku. Bahkan melangkahi “hak kuasa” para mujtahid sekalipun. 

Kelak diketahui bahwa kasus-kasus demikian terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam memahami syari’at secara utuh. Mereka memahami kisah-kisah pendirian mazhab secara tidak sempurna dengan mengesampingkan subtansi dari pendirian mazhab itu sendiri.   

Laku salah kaprah ini terus terjadi dan berjalan (tadarruj) disekitar para calon inteletual Islam di kampus-kampus sekuler. Alhasil terjadilah sebuah upaya yang begitu berani melabrak hukum-hukum tuhan yang telah disepakati oleh ulama –ulama besar masa lalu. 

Harus dipahami bahwa kepakaran dan kealiman pakar Islam postmodern tentu tak bisa dibandingkan dengan kepakaran para inteletual Islam masa lalu. Kaidah ini tentu saja tak bisa diterima mentah-mentah oleh kaum yang menyebut dirinya sebagai inteletual Islam atau liberal an sich. Mereka berlindung dibalik kata Islam universal yang mereka sendiri masih rapuh akan defenisi tersebut. 

Gejala-gejala seperti ini selanjutnya penulis istilahkan sebagai bentuk sleborisme syari’at. Istilah slebor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefenisikan sebagai sebuah bentuk ketidakteraturan, kacau atau amburadul (KBBI, 2008) Sleborisme syari’at berarti sebuah paham ketidakteraturan atau kekacauan pikiran dalam memahami syari’at Islam.

Istilah sleborisme syari’at tidak serta merta tertuju kepada organisasi semisal Jaringan Islam Liberal (JIL) namun spirit JIL setidaknya masuk dalam ruang sleborisme syari’at. Walaupun kelompok tersebut tidak pernah bersentuhan dengan JIL itu sendiri. 

Berangkat dari pengalaman penulis ketika belajar di IAIN, maka gejala-gejala sleborisme syari’at banyak sekali kita temukan baik secara langsung maupun tidak. Isu-isu yang diangkat dalam setiap seminar selalu saja mencari celah bagaimana hukum Islam bisa diatur menurut selera mereka dengan mengesampingkan peran-peran khazanah dan tradisi fiqih masa lalu. 

Fiqih kembali dibaca ulang dengan segenap keberanian semu. Keberanian jahiliyah tersebut berakhir dengann mensleborkan hukum-hukum tuhan. Dimana celah-celah sensitif kembali ditela’ah secara serius dengan kerap mengedepankan logika berpikir ala barat. 

Tak heran imbas dari itu fakultas yang tadinya bertujuan memproduksi ulama-ulama Islam tak bisa menunaikan tugasnya dengan sempurna. Parahnya lagi kaum inteletual nyeleneh terus saja bermunculan yang tujuannya hanya untuk mencari popularitas dan material semata.

Sleborisme syari’at terus saja terjadi pada anak-anak muda yang belum mapan peuneutoh-nya. Melalui doktrin-doktrin sang guru, mereka kerap mendengungkan isu-isu fiqih sesuai dengan apa yang dikehendaki nafsu. Mereka berpijak kepada buku-buku terjemahan yang diragukan keilmiyahannya. Mereka menelan isi buku secara mentah untuk kemudian dijadikan rujukan beragama dan alat untuk menunaikan tugas-tugas intelektualnya.

Menghadang Sleborisme Syari’at
Sleborisme syari’at harus dihadang sebelum generasi Aceh banyak tersayat tajam. Upaya penyelamatan haruslah dimulai lewat doktrin suci keluarga. Dimana peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai agama menjadi hal utama. Hasil dari doktrinisasi agama tersebut membuat generasi Aceh cinta  ilmu agama dan ingin selalu berada dalam koridor keilmuwan.

Selanjutnya menumbuhkan kembali spirit meudagang ke dayah-dayah adalah hal urgen dilakukan. Dalam fase ini dayah telah mampu berperan lewat kelahiran kembali dayah tinggi (ma’had  ‘ali). Ia akan menjadi poros baru menggatikan poros Darussalam yang dinilai belum mampu mewujudkan spirit keilmuwan Islam. 

Dimana poros dayah tinggi (ma’had ‘ali) berusaha untuk melahirkan hamba-hamba ilmu yang jauh dari upaya sleborisme syari’at. Dalam prakteknya, dayah tinggi (ma’had ‘ali) akan melakukan pembagian (takhassus) berbagai keilmuwan seperti tafsir, hadis, fiqih dan beragam disiplin ilmu agama lainnya. (Azmi Abubakar, The Aceh Institute 2010)

Para korban sleborisme syari’at perlu didakwahi dengan metode-metode khusus tanpa perlu kekerasan. Sebagaimana spirit  alquran wajadilhum billati hiya ahsan. Islam beserta hukum-hukumnya tak cukup dipelajari lewat karya terjemahan saja. Karena itu bahasa Arab sebagai bahasa  agama  menjadi mutlak dipelajari generasi. Kemahiran memahami literatur Islam klasik sangat penting lewat poros dayah tinggi (ma’had ‘ali).

Akhirnya sleborisme syari’at sebagai upaya mengolok-ngolok syari’at tuhan harus segera dibasmi dengan baik. Terbukti bahwa  sleborisme syari’at hanya melahirkan beragam paham sesat lain yang akan menghancurkan tatanan kehidupan generasi Aceh postmodern. Kelak para generasi dayah tinggi (ma’had ‘ali) perlu berseru lebih gagah dan lantang bahwa tak ada lagi ruang bagi pengusung sleborisme syari’at di Aceh.   
(el-Asyi)



Posting Komentar

0 Komentar