Menggosipkan politik di Aceh pada kenyataannya telah menjadi satu budaya dengan segala macam kelezatan. Posisi politik ibarat kue yang tiap pagi dikosumsi oleh masyarakat di warung-warung kopi. Tak salah jika kita katakan bahwa warung kopi Aceh sendiri telah lama menjadi markas besar gosip politik.
Ritme gosip politik di Aceh akan naik ketika
ritual-ritual politik mencapai klimaksnya, dan ia akan turun sendirinya ketika
tak ada isu-isu politik yang menantang. Gosip politik yang sangat menantang
adalah ketika isu harga diri Aceh coba diketengahkan.
Secara spontanitas gosip politik akan terus berputar dan bermain dalam ranah ini. Harga diri yang berarti sebuah marwah telah lama menjadi suatu hal seksi bagi masyarakat Aceh, yakni disaat masyarakat kembali sadar siapa diri dan tanah airnya. Gosip politik sendiri belum menampakkan eksistensinya dalam beberapa dekade lalu, yakni ketika masyarakat masih dilanda bingung tentang arti nasionalisme.
Selama ini gosip politik yang menyentuh ranah Indonesia
secara keseluruhan tak lagi dipandang
menarik bagi masyarakat. Isu calon Presiden misalnya yang kerap muncul dalam berbagai
media, atau keterlibatan tokoh-tokoh nasional dalam tindak korupsi atau gosip tentang kebijakan kepala negara dalam
skala nasional, dimana hal itu semua tak lagi menjadi pembicaraan nomor wahid.
Aceh telah benar-benar memfokuskan diri untuk bicara
segala lini keacehan. Karenanya ritme gosip politik dimasa-masa mendatang akan menukik dan
semakin seru untuk diikuti. Gosip politik Aceh secara lebih terperinci adalah
menyangkut tentang bagaimana pemegang
kendali Aceh sekarang ini berkuasa. Apalagi wilayah legislatif dan eksekutif sudah
sempurna dikuasai oleh para elit-elit pembebasan Aceh masa lalu.
Gosip politik Aceh akan menyentuh masalah-masalah krusial
bagaimana wajah Aceh ketika MoU Helsinki yang dijabarkan dalam Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UUPA) benar-benar terimplementasi. Gosip politik Aceh akan semakin seksi
ketika membicarakan hal-hal krusial mewakili nasinalisme keacehan seperti lagu
dan bendera Aceh.
Namun sayangnya para ahli gosip sepertinya lupa untuk
menggosipkan hal-hal krusial lain seperti penegakan keadilan dalam wujud Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliaasi (KKR). Bahwa ada indikasi tentang gosip politik
Aceh yang tak lagi seimbang, ia bergerak miring tanpa mempedulikan garis-garis
yang semestinya dilalui.
Sebaliknya ada satu ketakutan tersendiri pada masyarakat
untuk menggosipkan hal yang pada dasarnya seksi secara nyata. Penembakan
misterius beberapa hari lalu yang menewaskan Syukri bin Abdullah alias Pangkuk, sekretaris Partai Aceh kota
Lhokseumawe dan teman bisnisnya Cut Yetti ( SI, 15/5/2012), Juga rentetan kasus
sebelumnya tentang penembakan misterius
Saiful Cagee, pembantaian di Geureudong Pasee, serta pemberondongan para buruh
Jawa malam hari raya. Gosip kearah itu dilakukan dengan cara hati-hati sekali
dan tak berlangsung lama.
Pada segmen lain, gosip politik belum juga diimbangi
dengan analisis-analisis kuat dan kritis terhadap pemberitaan media. Masyarakat
cenderung menelan mentah-mentah apa yang telah media beritakan. Figur ulama
sebagai pemangku agama yang seharusnya berdiri pada posisi tengah juga telah
ikut-ikutan menggosipkan politik secata tak tak teratur dan seimbang.
Mungkin ceritanya akan lain jika ulama benar-benar
memposisikan diri tidak sebagai peserta gosip, artinya ia tidak berada dalam
lingkaran menggosipkan politik secara tidak sehat. Tentu saja, ada ruang para
ulama untuk membetulkan sikab masyarakat, yakni dengan mengharmonisasi segala
kasus politik (Muhammad Amin MS, 2009).
Negara Mesir pasca revolusi juga belum mampu membendung gosip politik tidak sehat.
Tempat bergosip seperti warung kopi, dan mobil
angkutan memberi kesempatan liar bagi khalayak untuk bergosip. Ini berbeda dengan apa yang terjadi pada
negara-negara maju, gosip politik cenderung seimbang dengan pembangunan. Yakni
gosip politik yang berorientasi kepada kemakmuran negara.
Saat ini dikampung-kampung Aceh, kita menyaksikan bahwa
gosip politik semakin berjalan tidak sehat. Bahwa ada praduga-praduga sesat
yang tak lagi beorientasi kepada spirit Islam. Gosip politik ‘sibak rukok
treuk’ misalnya masih saja berkembang pada masyarakat. Istilah sibak
rukok treuk adalah contoh gosip gila paling menyesatkan. Artinya selama
gosip politik tidak terkontrol dengan baik, maka kita telah membiarkan
masyarakat berijiminasi liar yang
berujung kepada ketidaknormalan jiwa.
Gosip politik akan terus bergerak pada tiap ruas jalan
Aceh, kita berharap semoga Aceh tahu dan cerdas bagaimana bergosip secara baik
dan sehat. Yakni gosip tentang upaya kita membangun Aceh yang lebih baik menuju
kemakmuran. Gosip yang membangkitkan semangat bekerja, membawa pada kepercayaan
diri bahwa kita semua bisa berbuat untuk Aceh secara ikhlas, tanpa kepentingan
apapun. Azmi Abubakar, Aktivis Kajian Zaiyah KMA Mesir. http://acehinstitute.org/pojok-publik/politik/item/136-gosip-politik.html
0 Komentar