Rentetan kasus tersebut cukup membuat penjara di Aceh pada posisi tak lagi sehat. Bahwa penjara yang kelak disebut sebagai lembaga permasyarakatan (LP) masih belum mampu memaknai dirinya dengan baik, yakni sebagai tempat memasyarakatkan para napi dengan segala ketenangan dan kedamaian.
Selama ini penjara masih didefenisikan sebagai glap.
Istilah glap merujuk kepada terminologi Aceh sebagai tempat mendekam
para tahanan. Glap dalam pemahaman orang-orang tua membawa kesan tentang
nilai-nilai penzaliman dan penyiksaan.
Di berbagai negara, kita mendapati bahwa masih banyak
sekali penjara yang mengusung nilai-nilai kekerasan. Guantanamo adalah satu
simbol penjara paling kejam di dunia yang sangat masyhur dengan segala
penyiksaannya. Literatur sejarah sendiri menyebutkan bahwa Guantanamo mulai berubah menjadi pangkalan
penjara bagi teroris pasca tahun 1950.
Penjara di Mesir sendiri pasca revolusi sudah sangat
runyam dimana banyak para nara pidana yang kabur. Para nara pidana tersebut
merupakan pelaku kriminalitas kelas kakap. Sehingga dengan demikian ruang
melancarkan aksi kembali terbuka luas. Penjara pada era orde baru di Indonesia
juga pernah berada pada kondisi paling kelam. Kala itu penjara diposisikan
sebagai tempat memberangus lawan politik para penguasa. Dimana banyak para
tokoh peneriak kebenaran diberangus dalam kamar sempit penjara.
Mengikut sejarahnya pula, penjara pada masa kejayaan Islam juga tak lepas dari segala bentuk penyiksaan.
Kita menemukan banyak inteletual Islam kala itu yang dipenjara dan disiksa
seperti imam Hanafi dan Hambali. Hal serupa juga dialami syaikhul Islam, Ibnu
Taimiyah dan Imam Al-Ghazali. Menariknya para inteletual Islam masa lalu mampu
memposisikan penjara sebagai tempat menghasilkan nilai-nilai intektualitasnya.
Islamisasi Penjara
Perlu adanya langkah-langkah baru mengharmonisasikan
penjara, yakni dengan Islamisasi penjara. Dimana para penjaga dan penghuni
penjara turut merasakan kedamaian lewat pesan-pesan Islam. Penjara di masa
depan diharapkan mampu menjadi tempat penyatu persaudaraan antara sesama
manusia penjara.
Islamisasi penjara merupakan bagian dari penerapan Islam
secara kaffah. Bahkan Islamisasi penjara bisa menjadi satu langkah untuk
mempromosikan Aceh sebagai tempat penerapan syari’at Islam pada dunia luar.
Untuk itu profesionalisasi para sipil penjara di Aceh menjadi satu hal urgen.
Dimana para sipil wajib mempunyai dasar agama yang kuat sebagai landasan hidupnya.
Penjara harus punya kebijakan untuk menerjunkan para juru
dakwah sesering mungkin. Penjara masa depan harus menjadi sekolah bagi para
napi, artinya penjara mampu mendidik napi menjadi manusia mulia. Penjara di
masa depan benar-benar menjadi tempat keramat dimana tak ada satupun para
tahanan yang kabur illegal.
Disisi lain penjara juga harus mampu menanamkan
nilai-nilai tasawuf pada penghuninya agar terwujud rasa rendah hati dan saling
menyayangi. Disamping itu penjara di Aceh harus pula mencetak para inteletual
sebagaimana titah para ulama shalafush shalih dulu. Langkah Muhammad
Nazar dan Abdullah Puteh yang menelurkan karya selama di penjara patut
diapresiasi. Artinya penjara telah memberi mereka waktu untuk terus berkarya positif.
Kita berharap langkah ini juga diikuti oleh para nara pidana lain. Bahkan tak
tertutup kemungkinan jika sebuah penjara ideal kelak membuat pelatihan menulis bagi para tahanan
sebagai upaya menumbuhkan spirit menulis di penjara.
Islamisasi penjara menuntut kebijakan dan campur tangan
pemerintah untuk dan demi terciptanya tujuan mulia tersebut. Guantanamo cukup
memberi pelajaran kepada kita bahwa sebuah penjara yang kejam hanya akan
merugikan para tahanan dan penguasa penjara. Sudah saatnya Aceh memiliki
penjara ideal yang nantinya dapat menjadi tolak ukur dunia luar. Azmi Abubakar Alumni Dayah Jeumala Amal, Aktivis Kajian
Zawiyah KMA Mesir.
0 Komentar