Advertisement

Masa Depan Penjara

Dalam beberapa bulan terakhir kita kerap mendengar berita-berita miris tentang kondisi penjara di Aceh. Berita terakhir adalah tentang pemukulan  nara pidana di lembaga Pemasyarakatan (LP) Meulaboh (Serambi Indonesia, 23/5/2012). Sebelumnya   kekerasan yang mewarnai dunia penjara juga terjadi di Lembaga Permasyarakatan kelas II A Lhokseumawe (The Atjeh Post/12/2/2012).  Tidak lama berselang terjadi lagi kerusuhan di penjara Idi, tercatat seorang tahanan meninggal dunia akibat sayatan di lehernya  (Serambi Indonesia (15/2/2012).

Rentetan kasus tersebut cukup membuat penjara di Aceh pada posisi tak lagi sehat. Bahwa penjara yang kelak disebut sebagai lembaga permasyarakatan (LP) masih belum mampu memaknai dirinya dengan baik, yakni sebagai tempat memasyarakatkan para napi dengan  segala ketenangan dan kedamaian. 

Selama ini penjara masih didefenisikan sebagai glap. Istilah glap merujuk kepada terminologi Aceh sebagai tempat mendekam para tahanan. Glap dalam pemahaman orang-orang tua membawa kesan tentang nilai-nilai penzaliman dan penyiksaan.

Di berbagai negara, kita mendapati bahwa masih banyak sekali penjara yang mengusung nilai-nilai kekerasan. Guantanamo adalah satu simbol penjara paling kejam di dunia yang sangat masyhur dengan segala penyiksaannya. Literatur sejarah sendiri menyebutkan bahwa  Guantanamo mulai berubah menjadi pangkalan penjara bagi teroris pasca tahun 1950.

Penjara di Mesir sendiri pasca revolusi sudah sangat runyam dimana banyak para nara pidana yang kabur. Para nara pidana tersebut merupakan pelaku kriminalitas kelas kakap. Sehingga dengan demikian ruang melancarkan aksi kembali terbuka luas. Penjara pada era orde baru di Indonesia juga pernah berada pada kondisi paling kelam. Kala itu penjara diposisikan sebagai tempat memberangus lawan politik para penguasa. Dimana banyak para tokoh peneriak kebenaran diberangus dalam kamar sempit penjara. 

Mengikut sejarahnya pula, penjara pada masa kejayaan Islam  juga tak lepas dari segala bentuk penyiksaan. Kita menemukan banyak inteletual Islam kala itu yang dipenjara dan disiksa seperti imam Hanafi dan Hambali. Hal serupa juga dialami syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Ghazali. Menariknya para inteletual Islam masa lalu mampu memposisikan penjara sebagai tempat menghasilkan nilai-nilai intektualitasnya. 

Islamisasi Penjara
Perlu adanya langkah-langkah baru mengharmonisasikan penjara, yakni dengan Islamisasi penjara. Dimana para penjaga dan penghuni penjara turut merasakan kedamaian lewat pesan-pesan Islam. Penjara di masa depan diharapkan mampu menjadi tempat penyatu persaudaraan antara sesama manusia penjara. 

Islamisasi penjara merupakan bagian dari penerapan Islam secara kaffah. Bahkan Islamisasi penjara bisa menjadi satu langkah untuk mempromosikan Aceh sebagai tempat penerapan syari’at Islam pada dunia luar. Untuk itu profesionalisasi para sipil penjara di Aceh menjadi satu hal urgen. Dimana para sipil wajib mempunyai dasar agama yang kuat sebagai  landasan hidupnya.

Penjara harus punya kebijakan untuk menerjunkan para juru dakwah sesering mungkin. Penjara masa depan harus menjadi sekolah bagi para napi, artinya penjara mampu mendidik napi menjadi manusia mulia. Penjara di masa depan benar-benar menjadi tempat keramat dimana tak ada satupun para tahanan yang kabur illegal. 

Disisi lain penjara juga harus mampu menanamkan nilai-nilai tasawuf pada penghuninya agar terwujud rasa rendah hati dan saling menyayangi. Disamping itu penjara di Aceh harus pula mencetak para inteletual sebagaimana titah para ulama shalafush shalih dulu. Langkah Muhammad Nazar dan Abdullah Puteh yang menelurkan karya selama di penjara patut diapresiasi. Artinya penjara telah memberi mereka waktu untuk terus berkarya positif. Kita berharap langkah ini juga diikuti oleh para nara pidana lain. Bahkan tak tertutup kemungkinan jika sebuah penjara ideal kelak  membuat pelatihan menulis bagi para tahanan sebagai upaya menumbuhkan spirit menulis di penjara. 

Islamisasi penjara menuntut kebijakan dan campur tangan pemerintah untuk dan demi terciptanya tujuan mulia tersebut. Guantanamo cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa sebuah penjara yang kejam hanya akan merugikan para tahanan dan penguasa penjara. Sudah saatnya Aceh memiliki penjara ideal yang nantinya dapat menjadi tolak ukur dunia luar. Azmi Abubakar Alumni Dayah Jeumala Amal, Aktivis Kajian Zawiyah KMA Mesir.

Posting Komentar

0 Komentar